6. Nur

505 54 4
                                    

Ciiiit ... Brakk!

Bagus sekali. Setelah hampir menyeruduk kambing di pinggir jalan, aku langsung jatuh tertimpa motor. Mana lokasinya baru beberapa puluh meter dari sekolah. Masih banyak anak murid lewat dan mungkin beberapa rekan guru ada yang melihat kejadian ini.

Pelan-pelan, aku mencoba bangkit. Dan yang terasa banget adalah kaki kiriku yang masih ketimpa motor.

Orang-orang mulai berdatangan mengerubutiku. Termasuk anak-anak muridku juga. Sementara kambing tadi, sepertinya malah santai mengunyah rumput tanpa menghiraukan insiden ini.

"Nur, kamu enggak apa-apa?" Tiba-tiba Mas Khalid datang dan berusaha mengangkat body motor dibantu dua orang lelaki. Mereka berusaha menolongku agar bisa berdiri dengan mudah.

Duh, rada malu sebenarnya. Tapi, ngilu dan nyeri di pergelangan kaki, jauh lebih terasa.

Aku berusaha berdiri, dibantu beberapa anak muridku. Sedikit terpincang-pincang karena pergelangan kaki kiriku benar-benar ngilu. Sementara itu, kulihat Mas Khalid berusaha memarkirkan motor lebih ke pinggir. Lalu, segera berbalik mendekatiku.

"Kamu enggak apa-apa?" dia balik bertanya lagi.

Ya jelas apa-apa, dong. Enggak apa-apa gimana kalau sudah jatuh sekeras itu? Ya sakit, ya malu.

"Eh? Enggak apa-apa, kok, Mas." Jelas saja aku bakalan ngeles. Emang aku harus jawab detil lalu menjelaskan kalau kakiku beneran ngilu. Dan selanjutnya minta gendong, gitu?

Duh, makin ke mana-mana otak, nih. Sadar, Nur! Sadar!

Memang, sih, pas tahu kalau Mas Khalid masih free, otakku makin ke mana-mana saja. Tapi, semua enggak mudah. Karena Mas Khalid ternyata termasuk tipe pendiam dan enggak nyosor sama perempuan. Tipe-tipe alim, sih, kayaknya.

Aih, jadi ngelantur lagi, kan?

Dan memang sejak kejadian kemarin sore, bikin hidupku makin ngelantur dan enggak nyaman sama sekali. Lagian, bapak ada-ada saja, sih? Bikin aku ngelamun lalu jatuh, kan, jadinya?

Pokoknya, nanti pas pulang, aku mau menyalahkan bapak habis-habisan. Itu pun kalau berani, sih.

"Kaki kamu cedera, kayaknya, tuh. Biar aku antar aja, ya? Sepedanya gampang. Aku titipin di rumah itu dulu. Kamu duduk aja, ya! Tunggu di sini!" Mas Khalid menunjuk ke arah rumah yang jaraknya sekitar dua puluh meter dari tempatku jatuh.

Aku terdiam sambil ternganga-nganga mendengar cerocosan panjang Mas Khalid yang sudah melebihi kereta itu.

Wow ... lelaki alim ini ternyata cukup cerewet juga, ya?

Mas Khalid segera ngacir sambil menuntun sepedaku ke rumah yang ditunjuknya tadi. Sementara aku berusaha duduk di bongkahan batu yang kebetulan ada di pinggir jalan, tak jauh dari lokasiku terjatuh tadi. Tentunya dibantu beberapa anak muridku.

Seorang bocah lelaki menyodorkan botol minum berisi air padaku. "Minum dulu, Bu Nur."

Aih ... anak ini kecil-kecil udah manis banget.

Aku menerima botol itu sambil berucap terima kasih. Lalu segera minum beberapa teguk.

Dan melihatku baik-baik saja, orang-orang yang tadi membantu, segera pergi. Tersisa beberapa anak yang masih menunggui. Bedanya orang dewasa dan anak kecil perihal kepedulian, begitu kentara.

Mas Khalid kembali beberapa menit setelahnya. Rupanya dia berlari kecil sekembalinya dari rumah yang ditunjuknya tadi.

"Kamu beneran enggak apa-apa, Nur?" Pak Guru Cakep ini nanya lagi. Dan langsung kujawab dengan gelengan. Tentunya dengan sedikit senyuman. Berusaha menyembunyikan rasa malu yang sebenarnya masih saja bercokol di hati.

Meniti kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang