3

1.1K 163 7
                                    

Sepulang dari pesta, aku langsung mengurung diri di kamar. Mama khawatir padaku tetapi aku bilang aku ingin segera tidur saja. Setelah memeriksa suhu tubuhku, Mama baru puas dan meninggalkanku.

Aku ketakutan, khawatir shinigami di pesta itu akan mengikutiku pulang atau mengawasiku. Untunglah hal itu tidak terjadi.

"Reina? Reina, apa kau mendengarku? Kita perlu bicara. Tolong segera kemari." Bisikku sambil memandang langit-langit.

Tidak ada jawaban.

Aku menghela nafas dan membaringkan badan diranjang, berusaha untuk tidur. Aku tidak bisa karena aku terus memikirkan kejadian tadi.

Entah berapa lama, aku hanya bisa membolak-balikan badan dengan tidak tenangnya. Akhirnya, aku bisa merasakan kelelahan meliputiku dan aku pun jatuh tertidur.

Reina membangunkanku dari tidurku. "Kau memanggilku?"

Aku mengusap-ngusap mata masih mengantuk. "Reina?"

"Maaf aku baru bisa datang sekarang. Ada apa?"

Aku langsung berusaha menyegarkan diri agar bisa fokus pada Reina. Aku menceritakan kejadian di pesta tadi.

Reina terlihat sedang memikirkan apa yang kukatakan. Dia mengangkat bahu dengan cuek. "Kalau menurut ceritamu, sepertinya orang itu tidak menyadari kehadiranmu. Jika iya, orang itu pasti sudah akan mengikutimu. Atau mungkin dia harus menyelesaikan tugasnya dulu?"

Wajahku memucat mendengarnya.

Reina tersenyum. "Tenanglah, kau tidak bertindak mencurigakan, bukan? Pokoknya lain kali kalau melihat salah satu mereka, kau jangan kelihatan tegang atau takut, nanti malah jadi menarik perhatian mereka."

Ugh, yang benar saja, mana bisa aku bersikap tenang? Malah saking gugupnya, aku sampai sempat sakit perut.

Reina tertawa mendengar perkataanku. "Jimat dariku kau masih pakai terus kan? Tenanglah."

Tanganku otomatis memegang bandul koin dari kalung yang ku pakai.

"Hey, Reina. Kau bilang kau masih harus melanjutkan tugasmu di dunia nyata. Apakah...apakah kamu bisa mengecek keadaan keluargaku?"

"Bisa saja, tapi buat apa? Kau ingin tahu bagaimana reaksi mereka akan kematianmu?"

Aku menyentak akan perkataan 'kematianku'. Iya ya, aku benar-benar sudah mati di dunia nyata. Aku tidak yakin aku mau tahu reaksi keluargaku. Aku takut merasa bersalah jika mereka tidak bisa menerima kematianku dengan baik. Dan jikalau mereka bisa menerimanya, aku takut merasa kecewa dan pastinya jadi insecure berpikir bahwa mereka merasa lega beban keluarga sudah berkurang.

"Aku hanya ingin tahu bahwa mereka baik-baik saja." Tuturku. Tak apalah jika mereka bisa menerima baik kematianku daripada mereka menderita kehilanganku. Dan lagi alangkah benarnya bahwa kematianku memang bisa mengurangi beban hidup. Benar, tidak apa-apa. Aku sudah bukan lagi bagian dari hidup mereka, sekarang pun aku punya kehidupan sendiri. Jadi, aku berharap mereka bisa menjalani sisa hidup mereka dengan baik dan bahagia.

Tanpa kusadari airmata mengalir membasahi wajahku. kaget, aku buru-buru mengusap airmataku dengan tangan.

Reina tidak berkata apa-apa untuk sesaat. "Mereka baik-baik saja. Tentu saja mereka merasa kehilanganmu, tapi mereka bisa menghadapinya. Mereka bahkan dapat ganti rugi akibat kecelakaan yang menimpamu. Kamu tahu kan bahwa kamu memiliki asuransi jiwa? Selain itu, perusahaan pemilik truk yang menabrakmu juga cukup berdermawan dan memberi dana untuk keluargamu."

Ah, ya, benar. Jika kematianku bisa memberi keluargaku uang, itu baik juga.

Aku membaringkan kepala ke atas bantal, merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Reina.

walking on a dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang