42

565 79 11
                                        

Warning: chapter ini menyebutkan child abuse.


Aku memandangi pulpen lentur bentuk gelang dan buku Death Note di meja tulis dikamarku. Aku hendak mempertimbangkan merobek secarik kertas pada halaman buku Death Note untuk menyelipkannya pada lubang pada pulpen gelang tersebut. Aku berpikir untuk mempersiapkannya sebagai precaution jikalau aku bertemu bahaya lagi. Namun seperti biasa moralitasku meragukan kemampuanku untuk menuliskan nama pada Death Note.

Aku menghela nafas dengan berat hati dan menggigit bibirku saat memikirkan soal Tatsuo. Apakah aku berani melakukannya, menuliskan namanya pada Death Note? Aku masih tidak tahu apakah akan berfungsi untuk menuliskan nama pada raga palsu jika jiwa aslinya memiliki nama lain. Jujur, aku menakuti diriku sendiri karena semakin hari aku semakin mempertimbangkan untuk menulis nama Tatsuo pada buku tersebut.

Tetapi katakanlah jika aku benar melakukannya dan jika orang itu mati mendadak lalu esensinya berhasil kudapatkan, bagaimana aku menjelaskan pada semuanya soal itu? Berarti aku harus memberitahukan keberadaan Death Note pada Caleb, Lizzie dan Shuichi?

Entah kenapa aku enggan untuk melakukannya. Jujur aku juga takut akan pendapat mereka jika aku melakukannya via Death Note. Apakah mereka akan menghakimi aku karenanya? Apakah mereka akan berpikir aku pengecut menggunakan teknik Death Note? Lalu aku harus bagaimana? Apakah aku harus melakukannya seperti Rido dengan sebilah pisau?

Aku menggigil memikirkannya saat teringat kematian tragis wanita bernama Julia. Kejadian itu membuatku mimpi buruk bahwa aku masih di tempat itu dan Rido secara bergilir menyayat leher kami semua. Saat tiba giliranku, aku sungguh tak berdaya. Sungguh melegakan bahwa hal itu hanya mimpi buruk belaka. Akan tetapi, kejadian itu bisa saja benar terjadi padaku entah karena para pemilik mata shinigami yang semacam Rido dan Souji atau karena para pemburu kedepannya.

Aku mengerang pelan. Gosh, I'm so hopeless. Apakah aku benar bisa bertahan hidup nantinya walau sudah menyambung nyawa? Dan kenapa mau hidup harus dipersulit seperti ini? Jika ingin mati pun, aku takut akan berakhir ditempat yang menakutkan yang ditunjukkan oleh Yohan dahulu. Ah, aku hanya ingin menghilang saja dari muka bumi ini dan kalau bisa, aku ingin agar tak perlu lagi merasakan atau memikirkan apapun lagi. I just want to be at peace. Tapi, apakah diriku sudah pantas untuk menerima kedamaian lahir batin?

Apakah ada makna dalam kehidupan dan kelahiran tiap manusia? Aku tidak meminta untuk dilahirkan untuk hidup sebagai gumpalan emosi negatif yang selalu merasa tidak kukuh. Orang-orang selalu mengatakan kepadaku untuk keluar dari zona kenyamananku. Lebih mudah mengatakannya daripada menerapkannya. Aku sungguh berharap aku memiliki cheat code pedoman hidup khusus diriku sendiri dahulu maupun sekarang namun mana mungkin ada, bukan? Setiap kali aku digerogoti oleh rasa ketakutan semacam ini, kenapa aku jadi berharap ingin menghilang saja? Aku tak ingin lagi merasakan ketakutan, ketegangan yang tiada habisnya. Aku sudah berusaha untuk berpikir positif dan berusaha bersyukur atas apa yang kumiliki saat ini namun kepositifan itu tak bisa mengalahkan kenegatifan dalam diriku. Ah, aku sungguh iri pada orang lain yang berhasil memerangi kegelapan dalam dirinya atau setidaknya memukul mundur untuk beberapa lama kegelapan tersebut.

Bagaimanapun aku harap aku bisa melakukan semua ini dengan baik. Ha-ha, aku bahkan tidak tahu ''semua ini'' itu mencakup apa? Apakah aku akan bisa menjadi versi terbaik dalam diriku kelak? Bagaimana jika aku hanya begini-begini saja terus? Aku menggeram kesal dan menjambak rambutku. Krisis eksistensi ini sungguh menyebalkan meskipun itu semacam peringatan kepada diri sendiri.

Aku menatap lagi kedua benda dihadapanku tadi. Dengan berat hati sambil berusaha mengusir jauh kegelapan dalam diriku, aku menyelipkan kertas tersebut ke dalam lubang penyambung gelang pulpen tersebut dan menutup kaitannya. Aku mendesah sembari memandangi gelang tersebut. Perhatianku teralihkan oleh Mama yang memanggilku maka akupun segera menyimpan gelang dan buku Death Note ke dalam laci dan menguncinya. Aku keluar kamar dan bergegas menemui Mama.

walking on a dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang