Warning: penggambaran tidak akurat tentang psikiater dan kondisi mental seseorang serta efek obat.
Bagaimana ini? Aghh, aku kesal kenapa aku tidak berhati-hati? Kalung itu sudah hilang! Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Amuro sampai meminta maaf kepadaku waktu itu karena tak bisa membantu mengembalikan kalung itu padaku. Dia kelihatan khawatir padaku yang kelihatan antara ingin menangis dan menjerit. Aku pasti kelihatan seperti anak kecil yang sudah mau mengambek atau mengamuk. Akhirnya, aku hanya menjadi lemas dan mengucapkan terima kasih kepadanya lalu pamit pulang. Dia ingin mengantarku pulang tetapi aku menolaknya. Dia memaksaku dan aku akhirnya mengalah dan setuju naik mobilnya.
Sepanjang perjalanan aku tidak mood untuk berbicara apapun dan Amuro juga tidak mengajakku mengobrol tetapi aku merasakan bahwa orang itu sedang mengamatiku.
Semenjak kalung itu menghilang, aku merasa ketakutan, merasa seakan tanah dibawah kakiku akan menghilang kapan saja dan menenggelamkanku ke dasar neraka. Mungkin aku terlalu dramatis tetapi begitulah perasaanku saat ini. Aku sampai merasa sesak nafas karena takut.
Aku pura-pura tidak enak badan agar bisa bolos sekolah dan ternyata aku akhirnya kena demam benaran sehingga Mama mengizinkanku tinggal dirumah.
Yuka ada menjengukku dan membawakan PR dari sekolah. Dia khawatir melihat tampangku yang pucat dan lesu.
Ugh, aku malas mengerjakan PR juga. Saat ini aku sedang ketakutan untuk nyawaku sendiri, mengerjakan PR adalah hal paling terakhir yang ingin kulakukan. Akan tetapi, Mama sangat menakutkan dan mengontrol apakah aku mengerjakan tugas sekolah atau tidak, jadi mau tak mau aku terpaksa mengerjakannya.
Aku tak berani keluar rumah. Aku juga tidak ke Poirot atau les di rumah Kudo. Rasanya aku ingin mencari dan menggali lubang untuk bersembunyi saja selamanya.
Lagi-lagi aku membuat Papa dan Mama khawatir terhadapku. Habis mau bagaimana? Aku terlalu takut untuk keluar tanpa kalung itu. Rasanya seperti telanjang bulat atau tanpa perisai jika keluar tanpa memakai kalung pengaman itu.
Mama ada membawakan pulang makanan dari Poirot dan dia mengatakan bahwa Amuro ada menanyakan keadaanku karena aku lama tidak muncul lagi dihadapan dia. Mama mengatakannya dengan nada menggoda tetapi aku merasa...hambar. Perhatian seorang Amuro tidak cukup untuk menyegarkanku. Default setting-ku saat ini hanya mentok di rasa takut.
Mama kelihatan bingung dan khawatir melihatku seperti ini, memang biasanya jika Mama menggodaku perihal Amuro, aku selalu berkilah keras-keras yang tentu saja tambah membuat Mama ingin menggodaku terus.
Tak disangka aku mendapatkan kunjungan tak terduga dari Miyuki. Kukira anak itu masih mengurung diri dirumahnya, ternyata dia sudah berani keluar rumah. Dia sudah mulai masuk sekolah lagi. Kali ini, gantian dia yang datang menjengukku. Dia tidak datang sendiri, Ibunya juga datang dan mengobrol dengan Mama.
Aku memandangi Miyuki dengan sedikit bersalah karena seakan aku telah melupakan perkembangan kondisi dia. Aku juga lega melihat dia kelihatannya sudah membaik. Rupanya dia ada menemui psikiater anak. Duh, mendadak aku dapat firasat bahwa Ibu Miyuki bakal membujuk Mama untuk mengajakku menemui psikiater juga.
Sepertinya psikiater yang didatangi Miyuki berhasil membantu anak itu untuk keluar dari cangkangnya. Miyuki rupanya diberi obat medis untuk mengatasi rasa takut dan cemasnya.
Miyuki menjelaskan kepadaku bahwa setelah dia meminum obat yang diberikan dokter, dia bisa tidur nyenyak. Obat itu juga mengurangi rasa takut dan cemasnya. Rasa takut dan cemas masih ada tetapi Miyuki bilang dia jadi tidak terlalu mengkedepankan perasaan negatif itu. Dia kadang masih suka mimpi buruk tetapi berkat trik dan terapi dari dokter, Miyuki mengaku mimpi buruknya berkurang dan tidak muncul setiap hari seperti dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
walking on a dream
FanfictionEva terbangun dalam tubuh gadis kecil di dunia manga DC. Bisakah dia bertahan hidup disana?