26

624 105 14
                                    


Aku dengan cemberut memandangi Amuro dan Azusa yang sedang tertawa bersama. Aku saat itu sedang di Poirot untuk makan siang. Sempat terbersit keinginan untuk menghalangi rasa kebersamaan keduanya. Tetapi aku tak tahu bagaimana melakukannya dan apakah aku benar ingin melakukannya dengan konsekuensi menunjukkan kejelekanku pada Amuro?

Yang agak menyebalkan ada seorang wanita tua yang sepertinya juga langganan kafe ini dan nenek itu sangat mendukung hubungan keduanya. Pernah nenek itu tiba-tiba menyapaku dan memuji betapa serasinya Amuro dengan Azusa. Aku hanya bisa tersenyum terpaksa meladeni opini nenek itu.

Aku tahu aku pernah mengatakan bahwa aku juga mendukung kemungkinan hubungan mereka tetapi melihat keduanya dengan mata kepala sendiri, aku sungguh merasa tidak senang. Seperti yang kukatakan sebelumnya, pasti karena ada bagian dalam diriku yang masih menaruh harapan bahwa saat tubuh ini dewasa nanti, aku jadi ada kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih bermakna dengannya.

Sadar diri donk, Eva. Kau tak punya harapan secuil apapun untuk bisa mendapatkan pria idaman mana pun, apalagi kedua orang itu. Seperti biasa diriku menjatuhkan setiap harapan atau pikiran positif dalam diriku sendiri.

Aku mendesah galau. Rasanya tidak percaya aku masih terganggu oleh emosi yang tidak jelas padahal nyawaku mungkin sudah tidak berapa lama lagi. Aku ingin bisa berlapang dada untuk beberapa hari kedepan sampai saatnya tiba...

Ya, aku harap dewa kematian itu tidak akan sengaja memperpanjang masa penantian untuk mencabut nyawaku hanya agar aku merana. Bukannya aku ingin mati atau dapat menerima kematian... Aku hanya tidak mau tersiksa secara fisik ataupun emosional lagi.

Ran dan Sonoko memasuki kafe Poirot dan ketika melihatku, mereka menyapaku dan langsung duduk di meja yang sama denganku tanpa permisi.

Sonoko merangkulku dan memperlihatkan selembar brosur soal pertunjukan drama di SMA mereka.

Mataku membelalak lebar saat Sonoko menjelaskan bahwa dramanya dibuat berdasarkan cerita weeping angels yang waktu itu aku iseng ceritakan kepada mereka. Hanya saja Sonoko mengubah akhirnya supaya happy ending bagi kedua sejoli dalam cerita.

Jujur saja aku jadi tertarik untuk mengetahui bagaimana cara dia menceritakan kisahnya. Sonoko ada mengubah setting jamannya supaya pemain utama pria dan wanitanya bisa memakai pakaian tradisional jaman kuno yang dia sukai.

Melihat ketertarikanku, Ran menanyakan apa aku ingin melihat mereka latihan besok sepulang sekolah. Aku pun dengan gembira menyetujuinya. Aku menyadari Ran tengah memandangiku dengan lembut berbalut rasa kasihan. Ah, jadi begitu... Dia merasakan sejumput rasa khawatir untukku.

Aku tersenyum kepada gadis itu, tidak merasa terganggu dikasihani olehnya, aku rasa hal itu tidak buruk dan memang Ran seorang yang baik seperti itu, bukan?

Aku berusaha menghalangi pemikiran (bahwa aku menyukai saat ada yang mengasihaniku, bahwa merasa diperhatikan seperti itu membuatku senang) ke permukaan. Seharusnya hal itu tidak apa-apa, jika bukan karena kebanyakan semua tokoh dalam manga dan film selalu digambarkan sebagai seorang yang tegar dan tidak mau dikasihani. Seakan dikasihani itu hal yang merendahkan. Jadinya, jika menerima rasa kasihan dari seseorang, itu berarti kita payah atau lemah.

Aku berharap bisa setegar itu menjalani hidup tetapi aku sama sekali tidak yakin aku memiliki ketegaran yang teladan.

777

Aku mendesah tanpa sadar. Aku sedang les dengan Subaru saat itu. Aku sungguh tidak bisa konsentrasi untuk mengerjakan PR.

Mengingat waktuku sudah tidak lama lagi, kenapa aku masih saja harus mengerjakan PR? Tentu saja aku menyadari bahwa ini adalah alasan agar aku bisa menghabiskan beberapa jam dengan Subaru.

walking on a dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang