20

835 116 12
                                    


Aku memandang etalase berisi variasi kalung berbandul dalam berbagai bentuk dan ukuran. Aku mengambil sebuah kalung dengan bandul berbentuk locket yang bisa dibuka dan diisi foto. Tujuanku bukan untuk isi foto tetapi untuk menyembunyikan bandul berbentuk uang logam yang Reina berikan padaku. Dan sepertinya locket itu pas untuk tujuan yang ku maksudkan.

Karena Amuro mencurigai koneksi bandul kalung dengan kasus pembunuhan, aku menjadi risih untuk memakai begitu saja kalungku itu. Aku tak ingin dia menginterogasiku soal kalung itu lagi. Bagaimanapun, aku harus memakai kalung itu lagi demi keselamatan diriku sendiri.

"Lho, Eva, bukan?"

Aku menoleh ke belakangku dan melihat Mako. Aku tersenyum memandang pemuda itu. Terakhir aku bertemu dia adalah kejadian saat dia menyelamatkanku dari potensi kematian kelindas kereta api. Aku sungguh berhutang nyawa kepada orang ini.

Ah, aku jadi teringat bahwa Papa dan Mama ingin bertemu penyelamatku ini. Aku menanyakan apakah dia ada waktu kedepannya untukku.

Ketika Mako mengetahui soal Papa dan Mama ingin menemui dan berterima kasih padanya, dia seperti agak panik. Sepertinya dia canggung untuk bertemu orangtuaku.

"Aku hanya melakukan yang orang lain pasti akan lakukan." tutur Mako soal perihal keberaniannya melompat ke atas rel kereta untuk menyelamatkanku.

"Kak Mako memang sungguh istimewa." pujiku serius. "Tidak semua orang bisa bertindak menyelamatkan seseorang. Dan saat itu, hanya Kakak saja yang bersedia melompat menarikku dari jalur kereta. Yang lain hanya diam menonton...atau merekam." Aku teringat video yang sempat viral yang Yuka perlihatkan kepadaku.

Aku tersenyum dengan penuh apresiasi akan tindakan dia waktu itu. "Datanglah sekali ini saja, Kak. Papa dan Mama sangat ingin bertemu kau sekali saja. Kau tak perlu berlama-lama jika tidak nyaman." Aku khawatir mungkin Mako memang orang yang tidak begitu suka bersosialisasi jadi nanti aku ingin mewanti-wanti Papa dan Mama agar tidak heboh dihadapan dia.

Mako menatapku tanpa berkata-kata. Dia mendesah pasrah. "Baiklah jika itu memang keinginanmu."

Aku tersenyum cemerlang. Aku meminta no HP dia dan berjanji akan mengirimkan pesan kepadanya soal makan malam bersama dengan keluargaku. Aku harus menginfokan Papa dan Mama agar mereka bisa mengatur jadwal juga.

Kami lalu bercakap-cakap sebentar sebelum dia pergi meninggalkanku. Aku mengambil kalung yang hendak aku beli tadi dan membayarnya di kasir.

Aku langsung ke toilet dan duduk di closet duduk. Aku mengambil bandul koin jimat dari Reina di kantongku dan langsung menjematkannya ke dalam liontin kalung yang baru kubeli tadi. Aku puas karena koinnya muat didalam liontin itu.

Lalu aku memakai kalung itu dan keluar untuk melihat penampilanku. Setelah puas, aku beranjak pergi. Aku terus-menerus memegangi liontin kalungku dengan senyuman lebar. Dengan begini, sementara aku akan aman-aman saja, bukan?

Ah tapi jika teringat peringatan dari Reina, pikiran positif yang kumiliki saat itu, yang secara sangat susah dipertahankan dalam diriku, seperti jadi retak dan hancur berkeping-keping.

Senyum diwajahku langsung lenyap dan kegelisahan kembali meliputiku.

Walau perkataan tokoh fiksi Newt Scamander tentang 'worrying means you suffer twice' adalah benar dan seharusnya diterapkan demi kedamaian pikiran seseorang, tetap saja susah untuk tidak khawatir akan segala macam hal yang diluar kontrol kita.

Jika saja aku lebih matang dalam pemikiran kritis, mungkinkah aku bisa mempersiapkan dan mempertahankan diri lalu menjalani 'the unknown' dengan lapang dada?

walking on a dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang