21

739 111 9
                                    


Lari. Aku berlari. Nafasku terengah-engah. Sekelilingku agak gelap dan aku tidak tahu hendak kemana aku lari.

Tiba-tiba aku melihat sosok seseorang. Shuichi Akai.

Aku menengadah menatap ke arah pria berbadan tinggi itu dan terhenyak melihat betapa dinginnya sorot mata orang itu saat memandangiku.

Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah pistol dan mengarahkannya kepadaku. "Maaf, nak. Sepertinya aku tak bisa lagi melindungimu."

Aku terperanjat karena dia tiba-tiba mengarahkan pistolnya ke arahku dan aku melangkah mundur, berbalik untuk lari.

Setelah beberapa saat berlari, aku melihat sosok Amuro yang mendadak muncul didepanku. Seperti Shuichi, pria itu juga menatapku dengan tatapan dingin.

Dia mengeluarkan pistolnya juga dan mengarahkannya kepadaku. "Demi Jepang yang kucinta, aku harus memastikan semua parasit yang ada di negara ini mati."

Parasit? Kenapa dia berkata begitu? Aku terhenyak dan melangkah mundur sebelum aku berlari ke arah lain lagi.

Kali ini aku melihat Conan dan dia mengarahkan jam tangan bius yang diarahkan kepadaku, seakan aku targetnya juga. "Maaf, Kak Eva, kau sudah tak bisa lari lagi ke manapun. Menyerahlah."

Aku tidak mengerti. Apa yang sedang terjadi saat ini? Kenapa mereka semua menyerangku?

Aku berlari lagi untuk menghindari Conan dan kali ini aku melihat Caleb dan Lizzie. Aku membuka mulutku untuk meminta tolong namun suaraku tak bisa keluar.

Keduanya memandangiku dengan tatapan dingin dan kosong seakan keberadaanku sama sekali tidak berarti bagi mereka.

Aku menelan ludah. Mendadak lututku serasa lemas dan aku pun bersimpuh di lantai diliputi rasa takut dan putus asa yang tidak jelas namun mencekik.

Tiba-tiba sebuah tangan hitam menggenggam pergelangan kakiku dan aku menjerit sampai terbangun.

Aku membuka mata lebar-lebar dan menyadari aku sedang menatap langit-langit didalam kamar tidurku. Untuk beberapa saat aku sulit mengatur kesadaranku akan realita disekitarku.

Aku mendesah lega menyadari bahwa aku hanya bermimpi buruk. Tetapi, kenapa aku bisa bermimpi seburuk itu dengan semua orang mendadak menjadi musuhku? Teringat emosi dalam mimpiku dimana aku seorang diri dan tak memiliki teman ataupun pelindung, aku merasa sedikit tertekan. Aku menarik nafas dan menghembuskannya beberapa kali, berusaha menenangkan diriku dan membohongi diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

777

Pada jam pelajaran di sekolah, aku sulit berkonsentrasi dan terus-menerus termenung sehingga beberapa kali kena teguran keras dari guru tetapi otakku seperti tidak bisa diajak bekerja sama.

Aku dengan lesu memandang ke arah langit diluar jendela.

Kepalaku dijitak oleh Pak guru.

"Aduh." Lamunanku terbuyar dan aku bersiap melototi siapapun yang menjitakku. Ketika melihat wajah Pak guru, nyaliku menciut.

Aku hanya bisa meminta maaf kepada dia. Untunglah Pak guru Shin adalah salah satu guru yang pengertian dan dia mengajar topik pelajaran yang kusuka yaitu menulis bebas.

Pak guru Shin mengetuk buku kosong dihadapanku dan menanyakan apakah aku sudah memiliki ide hendak menulis tentang apa.

Ya sejujurnya aku dari tadi tidak memikirkan hal itu. Sepertinya beberapa hari ini aku masih saja harus memerangi kegalauan dalam diriku. Sebal juga karena sabtu minggu nanti aku ada acara tetapi apakah aku bisa menikmatinya jika aku terus saja dibebani kerisauan yang mengombang-ambing seperti ini?

walking on a dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang