25. Membeku

7.6K 697 26
                                    

Julian duduk di samping tempat tidur, menatap wajah perempuan yang menyelamatkannya tadi. Dia tampak seperti peri, pipinya merah bersemu juga wajahnya tanpa polesan. Julian jarang mengucapkan terima kasih pada orang, tetapi untuk kali ini dia merasa cukup beruntung. Sekalipun paralon yang jatuh mungkin tidak mematikan, bisa saja membuat kaki atau tangannya patah.

Perempuan itu membuka mata, mulutnya menganga dan matanya terbelalak lebar saat melihat Julian. Pipi dan bibirnya makin pucat sepucat kapas. Dia kemudian berusaha duduk.

Julian mengangkat tangan, memintanya untuk tetap tenang.

"Tidurlah lagi. Ini sudah malam, nanti supirku akan mengantarmu pulang." Julian berkata dengan suara dalam, senyum
tipis menyungging di wajahnya.

"Ju-P-Pak Julian. Saya tidak apa-apa." Suaranya begitu pelan seperti semut, Julian harus mendekat untuk mendengar. Seketika wajah gadis itu merona. Eh? Julian menatap kaget.

"Ma-maafkan saya ... saya harus pulang." Dia berkata, ada nada panik bercampur ketakutan dalam suaranya. Tampaknya image Julian terhadap karyawan sangat mengerikan, sampai karyawannya begitu takut padanya.

Julian kemudian berdiri, dia berkata. "Katakan pada asistenku kalau kau membutuhkan sesuatu nantinya, aku pasti akan menanggung biaya pengobatanmu sampai sembuh."

Julian memperhatikan tangannya bergerak, saling mencengkram satu sama lain. Julian menghela nafas. Sepertinya dia sangat terintimidasi dengan kehadirannya.

"Baiklah, sekali lagi aku ucapkan terima kasih karena menyelamatkanku." Julian berkata. Dia berjalan menuju pintu keluar klinik perusahaan.

"T-tunggu!" Gadis itu berteriak. Tetapi suaranya tercekat.

"Ya?"

Wanita itu memandangnya, diam membeku. Mereka saling berpandangan cukup lama.

"I-itu." Dia kemudian menggelengkan kepala.

Julian tersenyum lagi, "Asistenku akan menjadwalkan untuk bertemu lagi denganku setelah kau sehat. Aku mengerti, aku bukan orang yang tidak tahu membalas budi."

Setelahnya gadis itu dia menunduk, gerakannya tampak gelisah. Julian menyuruh Calvin agar tetap di sana, memastikan kondisinya sehat dan baik-baik saja. Kemudiam dia bergegaa ke luar ruangan, karena masih ada hal yang haris diurus.

🌿🌿🌿🌿

Molly menyelinap diam-diam ke gedung di bagian belakang pabrik, dia harus bertemu dan bicara dengan Julian. Kalau tidak entah kapan lagi ada kesempatan. Molly mengintip melalui celah-celah dinding gedung. Julian selalu ditempel ketat oleh bawahan dan juga branch manager mereka. Bagaimana Molly dapat mendekat tanpa menimbulkan kecurigaan? Dia mengeluh.

Lama Molly terkagum-kagum lagi melihat Julian, dia mengenakan suit mahal dan sepatunya berkelas. Tetapi dia juga menggunakan helm pabrik, setelah Molly mengisi lemarinya dengan pakaian-pakaian yang tidak jadul seperti gayanya dulu, dia semakin keren. Uh, Molly jadi menyesal. Pastilah sekarang makin banyak perempuan yang mencoba menggoda Julian. Namun, lagi-lagi Molly memarahi dirinya sendiri. Itu bukan urusannya sekarang.

Dia memikirkan lagi kata yang tepat dan singkat, menjelaskan maksudnya. Agar Julian langsung paham, Julian adalah tipe orang yang tidak suka bertele-tele. Kalau dia gagap-gagap atau berputar-putar, dia akan dienyahkan dengan segera dari hadapan pria itu.

Kesempatan sepertinya berpihak pada Molly, mendadak Julian ditinggalkan sendiri dalam terik matahari. Molly berusaha fokus, matanya menyipit karena sinar matahari menerpa tubuh Julian, membuatnya silau.

Molly baru saja hendak melangkah saat dia melihat ke belakang Julian, ada pipa paralon terlepas menggelinding ke arah lelaki itu. Molly terkesiap, melihat bayangan seseorang segera berlari dari sana.

"Julian!!" Molly berteriak, berlari kencang menuju arah Julian. Dengan sekuat tenaga dia mendorong Julian, sedang tubuhnya ikut terhempas.

Molly tidak tahu apa yang terjadi lagi, saat matanya terbuka dia melihat wajah malaikat yang mirip Julian di hadapannya. Sedang tersenyum.

Ketika sang malaikat menyuruhnya tidur, barulah Molly sadar itu Julian yang asli.

J-Julian, aku mau minta maaf. Akulah yang menyamar menjadi Jane saat itu.

Molly sudah berlatih mengucapkan kalimat itu ratusan kali, tetapi kenapa tidak mau keluar dia malah gemetaran di hadapan Julian? Jantungnya berdetak keras, darahnya juga meletup-letup. Dia seperti ingin memeluk Julian dan menciumi aroma kayu-kayuan pada tubuhnya.

Bodoh sekali! Molly membeku. 

"T-tunggu!" Molly akhirnya berteriak saat Julian akan meninggalkannya, berusaha menjaga agar suaranya tidak terlalu jelas dan kentara. Jangan sampai dia kehilangan kesempatan ini, Molly berpikir.

"Ya?" Suara Julian lembut dan hangat, itulah Julian yang dia ketahui, jauh dari kata bengis dan kaku. Julian yang tersenyum padanya. Sangat tampan, membuatnya kalang kabut. Membuatnya jatuh hati.

A--- Molly tidak dapat membayangkan kalau Julian tiba-tiba berubah murka dan membencinya. Molly meremas lagi pakaiannya keras, dia sangat ketakutan. Molly tak ingin Julian membencinya, tak ingin Julian bersikap kejam padanya. Salahkah dia berpikir begitu? Astaga, bagaimana bisa dia berpikir begitu?

Molly juga tidak paham, kenapa dia harus menyelamatkan Julian? Kenapa ada sebuah paralon besar berguling di saat dia mengintip pria itu? Kenapa tidak saat banyak orang? Kenapa tidak kemarin, besok atau lusa di saat bukan Molly yang akan menolongnya. Sekarang dia sangat terekspose di hadapan Julian, sebagai penyelamatnya.

Julian mengatakan mereka akan bertemu lagi, Molly memutuskan untuk membatalkan niatnya. Nanti saja dia pikirkan lagi sebelum mereka bertemu kembali. Dia masih terus berpikir, Julian telah meninggalkannya.

Asistennya, Calvin, tinggal di sana untuk menanyakan beberapa hal. Molly menjadi makin gugup, dia pernah beberapa kali bertemu Calvin sebelumnya. Apa lelaki itu mengenal dia? Molly melirik hati-hati. Kemudian dia menghembuskan nafas, penampilannya sudah sangat berbeda, tidak mungkin dikenali.

***

Hampir pukul dua belas malam dan Julian masih berada di kantornya, sekarang dia semakin gila bekerja. Bahkan nyaris 18-20 jam dalam sehari. Julian bahkan belum sempat makan malam hari ini. Calvin setia mendampinginya, mungkin, Calvin belum juga menikah karena tahu pekerjaan ini membutuhkan dedikasi tinggi. Dia juga tengah menyelidiki bagaimana hal tidak aman seperti tadi siang bisa terjadi, Decc group berkomitmen terhadap keselamatan dalam pekerjaan.

"Dia sudah pulang?" Julian bertanya.

Calvin mengangguk, "Ya Julian. Supir kantor tadi mengantar sampai rumah, dia cuma mengalami cedera ringan di lutut. Tetapi, tidak terlalu fatal."

Julian menoleh, "Jadi dia cedera?" Tidak terlihat tadi, mungkin karena dia mengenakan celana panjang. "Pantau terus keadaannya, aku mau kita membayar semua pengobatan."

Calvin mengangguk lagi.

"Dan pastikan dia menemuiku lagi beberapa hari ke depan, siapkan cek untuknya."

"Baiklah, Julian."

"Siapa namanya?"

"Molly Diastari."

"Kenapa namanya mirip dengan mandor proyek dari perusahaan partner kemarin?" Julian mengerutkan kening.

"Kau ingat?"

"Kenapa masih bertanya, berapa lama kau mengenalku Calvin." Ada orang-orang tertentu yang harus direkam kuat dalam ingatan dan ada orang yang hanya berlalu begitu saja. Julian telah terbiasa menyeleksi sejak dulu.

"Yah, mereka kakak beradik. Kebetulan rumah mereka berada dekat pabrik. Jadi dia melamar sebagai warga tempatan, lolos bekerja di sana." Calvin menjelaskan.

Julian mengangguk. "Kabari aku lebih lanjut."

Julian melirik jam tangannya, tapi kenapa perasaannya sedikit aneh hari ini? Julian memegang jantungnya. Dia seperti lemah melihat perempuan tadi. Apa karena dia teringat Jane palsu? Postur mereka mirip sekali. Julian menghela nafas, berulang kali dia ingin melupakan wanita itu tapi bayangannya selalu menghantui.

*****
30/06/21

Suspicious WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang