Molly mendekap Lian, dia kelaparan karena lama sekali minum susu. Molly sangat marah seakan-akan api membakar kepalanya, sudah berapa jam Lian tidak makan ataupun minum. Oh astaga!
Saat dia mengancam Julian tadi, pria itu hanya diam dan tenang. Molly curiga dia merencanakan sesuatu, dia tampak tidak takut pada ancaman Molly sekalipun dia terlihat tertarik pada kata-katanya. Molly membelai pipi anaknya. Setelah kenyang, Lian tertidur lagi. Dia pastilah lelah karena terus menangis.
Molly membenarkan bajunya, meletakkan Lian di dalam box. Kamar telah didekorasi dengan baik untuk bayi, ada box yang kokoh dengan kain penutup selembut sutra. Kelambunya juga senada dengan warna karpet. Lemari dengan design simple yang Molly yakini isinya telah penuh oleh pakaian bayi. Molly menghela nafas, Lian berada di tangan Julian tidak tahu apakah suatu berkah atau kutukan. Lian mungkin akan hidup mewah sepanjang hidupnya, tetapi juga tidak bisa bebas dari masalah yang kerap menimpa kaum seperti ayahnya.
Dia membuka pintu kamar dan menutupnya lagi dengan pelan. Di ruang tengah dia melihat Julian sedang duduk bersantai, bersandar pada sofa bewarna abu-abu. Ada satu set teko dan gelas teh cantik dengan bunga-bunga di atas meja, juga kue-kue yang bewarna keemasan. Pelayan di rumah itu selalu menyajikannya pada sore hari. Molly jadi ingat saat dulu mereka makan di taman sambil berbincang.
Julian memerintah Molly duduk dengan matanya.
"Apa Lian sudah tidur dan kenyang?" Dia bertanya. Bagaimanapun, Molly cukup terkesan dengan usaha Julian untuk anaknya. Kalau membicarakan Lian pandangannya juga berubah menjadi lembut.
"Ya." Molly menjawab.
Mereka saling berpandangan lama, tapi Molly tak mampu bertahan, dia mengalihkan pandangannya lebih dulu. Menahan agar nafasnya tidak terdengar di ruangan yang hening, dia merutuk, kenapa dia begitu gugup di hadapan Julian. Sedangkan pria itu terlihat biasa saja.
"Sekarang ayo kita membuat perjanjian." Julian berkata.
"Perjanjian soal apa?"
"Molly, apa kau pikir aku akan membiarkan Lian diasuh olehmu?" Julian berkata tegas. "Fakta bahwa aku masih membiarkanmu bertemu Lian hanya untuk kebaikan Lian. Jangan berharap lebih."
Molly menghela nafas, "Lian anakku."
Mendengar ucapannya Julian berdecak.
"Aku akan membawanya pulang." Molly melanjutkan, wajahnya mulai memunculkan raut perlawanan.
Julian terkekeh, "Molly ... Molly ...." Dia menggelengkan kepala, "Tidak disangka kita bertemu lagi dalam situasi begini. Sebenarnya banyak pertanyaan untukmu, tapi aku terlalu malas untuk bicara."
"Kau nggak perlu bertanya, bukankah kau sudah mengetahui semuanya." Molly mengambil gelas teh dan meminumnya sampai habis dengan kedua tangan. "Aku haus." Dia meletakkan lagi gelas itu.
"Aku harus memastikan agar Lian tidak memiliki sifatmu yang buruk dan bar-bar." Julian mencela.
"Oh ya? Aku juga berdoa agar Lian tidak memiliki sifat kejam dan tak berperasaan sepertimu."
"Jadi kau mengakui kalau dia anakku?" Julian tersenyum mengejek.
"K-kau, bukannya kau sudah tau." Molly seketika menjadi tertekan. Julian pelan dan elegan mengangkat gelas tehnya, cara minum mereka saja berbeda. Dulu sekalipun Molly bersikap anggun, itu semua hanyalah pura-pura.
"Malam ini kau pindah ke sini." Julian berkata.
Mata Molly melebar karena kaget. "Apa maksudmu Julian?"
"Kau nggak perlu bekerja di kantor lagi, cukup tinggal di sini."
"Jangan sembarangan bicara." Molly mulai mengira-ngira arah pembicaraan Julian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suspicious Wife
RomanceMolly terpaksa harus berpura-pura menjadi Jane anak dari bos adiknya, menggantikan wanita itu menikah dengan seorang pria. Wajah dan seluruh sifat juga kebiasaan Molly dirubah mengikuti Jane, tapi tetap saja kepribadian aslinya masih mendominasi. Me...