Aku duduk manis di hadapan wanita paruh baya yang keriput ini. Dia memandangku dengan tidak menyenangkan—seolah dia tidak menyukaiku. Alisnya menekuk sebelah, bibirnya monyong.
"Jadi, namamu Johann? Betul?" Dia menyesap tehnya. "Kau mau bertanya tentang Norman?"
Aku mengangguk. "Ini demi penyelidikan."
"Siapa kau?" tanya wanita tua itu.
"Detektif amatir. Mungkin suatu saat nanti akan menjadi detektif konsultan seperti Sherlock Holmes." Aku tersenyum tipis.
"Jadi, kau mengaitkan kematian cucuku dengan pembunuhan Sanaya Moore?"
"Yeah! Kau tahu, Sanaya Moore bisa saja dihabisi karena dia menghabisi cucumu dan dengan tidak-adil, dia bebas."
"Bagi beberapa orang—termasuk aku—Sanaya Moore memang patut untuk mati. Tapi tidak sesadis itu. Ini benar-benar tidak manusiawi."
"Apakah kau ingin pelakunya dihukum?"
Wanita itu terdiam sejenak. Dia mengembalikan cangkirnya ke meja, lantas menatapku dengan tajam. "Walau begitu, tidak—sebagaimana dia tidak dihukum atas perbuatannya terhadap Norman."
"Tapi kalau begitu, lingkaran ketidak-adilan akan terus berputar, 'kan?"
"Begitulah dunia."
"Jadi, jika Anda tidak ingin pelakunya ditangkap dan dihukum, maka Anda tidak akan menjawab pertanyaan saya yang bertujuan untuk mencari tahu siapa pelakunya?"
"Tepat."
Aku tersenyum getir.
"Sekarang, kau tahu apa yang harus kaulakukan?" Wanita itu mengangkat dahi.
Aku menghela napas panjang, lantas bangkit dari kursi tanpa diminta. Aku kembali merapikan jaketku—yang berisi alat perekam suara yang menyala. Aku merasa sebal. Jadi aku pergi tanpa berpamitan dengan wanita itu.
Saat aku keluar dari pekarangan, seorang pria tua yang usianya sekitar akhir tujuh-puluhan menghadangku. Kedua bola matanya tertutup selaput buram abu-abu, tapi agaknya dia tidak buta. Dia tersenyum dengan cukup mengerikan ke arahku.
"Wanita tua itu memang tidak ramah, Nak," katanya dengan tiba-tiba.
Aku mencoba ramah. "Mungkin saja, dia 'kan kehilangan cucunya."
"Aku kehilangan empat cucuku karena kecelakaan. Tapi itu bukanlah hal yang berat." Dia terkekeh. "Perkenalkan, namaku Theo Brown."
Aku pernah mendengar nama ini. Kuulangi sekali lagi, aku mengoleksi ribuan catatan kriminal. Theo Brown merupakan perampok dulunya. Pernah mendekam di penjara selama sepuluh tahun, lantas bebas. Tapi melakukan kejahatan lagi hingga dia kembali di penjara selama sepuluh tahun juga.
"Senang bertemu dengan Anda," kataku. "Namaku Johann."
Pandangannya mulai nanar. Dia menghela napas panjang, lantas mencoba tersenyum getir.
"Kau ingin bertanya tentang Norman, betul?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Untuk menangkap pelaku pembunuhan Sanaya Moore?"
Aku mengangguk sekali lagi.
"Jangan kaget seperti itu, Nak. Aku sudah menguping pembicaraanmu dengan tua bangka itu." Dia terkekeh. "Tapi aku tidak sejahat dia; membiarkan anak manis sepertimu pulang tanpa mendapatkan apa pun."
"Jadi?"
"Akan kukatakan beberapa hal tentang Norman. Ngomong-ngomong, rumahku di sebelah tepat. Jadi aku cukup tahu soal anak itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...