[20]

117 22 0
                                    

Isabella

Pagi-pagi, aku menyalakan televisi untuk menemaniku makan. Salah satu siaran berita menayangkan peristiwa pembantaian satu keluarga. Mereka tewas karena arsenik.

"Sepuluh korban diduga menyesap teh beracun, lantas mereka meregang nyawa di tempat. Beberapa pihak mengasumsikan bahwa ini adalah ulah dari The Rose Killer—mengingat banyaknya kelopak mawar dan bau semerbak melati di sekitar TKP."

Aku menelan salivaku. Yang benar saja?! Kupikir The Rose Killer hanya mengincar murid-murid SMA—khususnya SMA 4 Bujur Lintang. Atau jangan-jangan, ini hanyalah copy-cat? Jangan-jangan pembantai keluarga ini merupakan orang yang meniru The Rose Killer dan menanggungkan kesalahannya pada Ther Rose Killer. Ah, The Rose Killer yang malang!

Aku kembali menyendok serealku. Di waktu yang bersamaan, tiba-tiba Avery menyerobot masuk tanpa mengetuk pintu dan menyapa. Dia langsung menuju ke arah dapur dan mencari-cari sesuatu di kulkas.

Setelah beberapa menit, dia kembali ke ruang tamu dan menonton berita denganku. Jam dinding masih menunjukkan pukul enam kurang lima belas. Masih terlalu pagi untuk pergi ke sekolah.

Pria itu berdecak sebal. "Kau ingat apa yang kaulakukan?"

Aku menundukkan pandangan.

"Kau tahu berapa banyak biaya yang digunakan untuk merawat anak itu?" sambungnya.

"Kau hanya perlu mengambil secuil potongan kuku dari seluruh warisan yang kumiliki." Aku memutar kedua bola mataku dengan sebal, lantas menyeringai.

"Perbaiki sikapmu, Isabell!" tandasnya.

"Hey, aku hanya membalasnya. Dia melemparkan ular ke arahku!"

"Bukan berarti kau perlu menghajarnya hingga kepalanya bocor!"

Aku memutuskan untuk menutup mulut. Jika tidak, percakapan ini akan merambat ke mana-mana dan pada akhirnya aku merasa kesal, lantas gangguan kecemasanku mulai menjalar lagi.

Avery melirik sebuah ruangan yang berada di samping ruang tamu. Ruang tersebut tertutup rapat. Mungkin juga terkunci. Aku tidak ingat. Aku jarang masuk dan membersihkan ruangan itu.

"Apa kau tidak pernah masuk ke dalam? Kau tak pernah membersihkannya?" Avery berdiri. Dia menuju ke ruangan itu. Tangannya menarik kenop pintu. Tapi segala usahanya untuk membuka ruangan itu sia-sia.

"Aku tidak pernah masuk ke sana. Atau lebih tepatnya jarang," kataku.

"Di mana kuncinya?" tanya Avery.

Aku mengangkat bahu, lantas kembali menyendok serealku.

"Yang benar saja! Di mana kuncinya?!"

"Aku tidak tahu! Aku lupa meletakkannya. Mungkin hilang atau di kolong tempat tidur. Aku sudah tidak masuk ke dalam sana saaaaangat lama."

Avery menekuk dahi. "Kau yakin?"

Aku manggut-manggut.

"Kenop pintunya tidak berdebu dan hangat. Celah bawah pintu juga tidak tertutup kotoran atau debu. Pasti kau pernah ke sini."

Aku menggeleng tidak mengerti. Seingatku, aku sudah cukup lama tidak masuk ke dalam sana. Itu merupakan ruang kerja ibuku. Masuk ke dalam membuatku mengingat akan wanita yang meninggalkanku untuk pria yang bukan siapa-siapa itu.

Setelah hening cukup lama, acara berita kembali mengemukakan informasi.

"Tidak ada sidik jari pelaku, tidak ada keringat pelaku, tidak ada rambut pelaku dan semuanya bersih. Apakah Si Pelaku begitu cermat? Jika iya, kenapa dia meninggalkan kelopak bunga mawar dan harum melati di TKP?"

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang