[8]

191 41 5
                                    

Angel

Sepertinya cerita yang kutulis mulai mengundang lalat seperti Johann. Anak itu cukup cerdas, ternyata. Tapi aku yakin Johann tidak akan menemukanku.

Kuakui anak itu memang cerdas, bahkan sangat cerdas. Tapi dia tidak waras dan terlalu percaya diri. Dia berfikir kalau dia adalah titisan Sherlock Holmes.

Persetan soal Johann!

Aku lebih fokus berkarya untuk saat ini. Hasratku menjadi seorang penulis agak tersingkirkan setelah aku membunuh Sanaya di bilik toilet. Sebab, aku berfikir menjadi seniman lebih menyenangkan daripada berkutat di depan ponsel dan mengirim satu-persatu cerita.

Merealisasikan kisah yang kutulis menjadi realita merupakan hal yang menyenangkan. Saat aku menghabisi Sanaya dengan tanganku sendiri, aku merasa bahwa aku sempurna mengikhlaskan Norman untuk pergi. Jadi, jika aku melakukannya lagi, apakah aku akan bisa sempurna mengikhlaskan segala rasa sakit yang selama ini menjadi beban di pundakku?

Entahlah, tapi aku akan mencobanya sekali lagi.

Hari ini aku mulai paham, membunuh bukan hanya dapat menuntaskan dendam dan menegakkan keadilan, tapi membunuh merupakan seni. Korban-korban itu adalah karyanya.

Psikopat? Bukan! Aku hanya anak tersakiti yang kebetulan kejam saja.

Namun terlepas dari itu semua, aku harus memikirkan siapa yang akan menjadi korbanku berikutnya. Menghabisi orang-tua Sanaya bukanlah yang apik menurutku. Membunuh Sanaya bertujuan supaya orang-tuanya mendapatkan luka yang menganga seumur hidupnya—membuat mereka tersiksa seumur hidup karena kehilangan putrinya. Luka itu harus sama dengan lukaku yang terjadi akibat kehilangan Norman.

Jadi, kuputuskan biar orang lain saja.

Kini, tujuanku tidak lagi membalas dendam atas kematian Norman. Sebab mau bagaimana pun, semuanya sudah impas dan adil. Jadi, aku memerlukan seseorang yang pernah melukaiku untuk dijadikan karya seni sekaligus media penghakiman dan balas dendam.

Yah, sepertinya, aku lebih bernafsu balas dendam untuk saat ini. Dan tentunya... menciptakan kehebohan.

Aku memang narsistik.

oOo

Pagi ini, kantor polisi kota lebih dari sekadar sibuk. Beberapa masyarakat datang dan mengatakan asumsi serta temuan mereka tentang kasus Sanaya Moore yang menggemparkan. Beberapa hanya mencari sensasi. Beberapa mengatakan asumsi mereka dengan serius.

Seorang remaja perempuan—siswi SMA 4 Bujur Lintang—juga datang ke sana sembari mengatakan bahwa dia memiliki pernyataan tentang apa yang dia lihat di sekolahan sore itu.

"Pria itu bernama Henric. Aku melihat dia memiliki linggis dan tang seperti yang telah dipublikasikan. Aku sering melihatnya membawa linggis dan tang yang sama. Dia penjaga sekolahan!" Gadis itu—Kinara—becerita dengan serius. "Dan aku melihat dia masih berkeliaran saat sekolah sudah sangat sepi. Aku tahu karena aku masih di perpustakaan untuk mengerjakan tugas matematika."

"Jadi menurutmu, Sanaya Moore dibunuh saat itu juga?" Satu petugas polisi menanggapi dengan remeh.

"Betul! Saat itu sekolah sudah sepi. Barangkali hanya aku yang masih ada di sana."

"Jadi kalau begitu, agaknya kami perlu mencurigaimu."

Kinara membisu sejenak. "Hah, kalau bersaksi begini membuatku dicurigai, lebih baik aku bungkam sejak awal."

Polisi itu terkikik. "Aku hanya bercanda." Dia menghela napas setelahnya. "Jadi, kau diperpustakaan sampai pukul lima?"

"Lima lima belas aku sempurna meninggalkan gerbang," jelas Sanaya.

"Kau hanya melihat Penjaga Sekolah itu?"

"Iya. Hanya dia yang tersisa di sana."

"Tidak ada lagi?"

"Ada tiga murid yang ada di perpustakaan sore itu. Tapi aku yang keluar terakhir. Murid terakhir bernama Marida dari kelas 11-A. Dia pergi sekitar tigapuluh menit sebelum aku."

"Setelah itu siapa lagi?"

"Um, Tristan Kiehl keluar dari laboratorium kimia saat aku melewatinya. Tapi kami ke parkiran bersama-sama walau tak becakap. Aku hanya sekadar tahu namanya."

"Tristan Kiehl di laboratorium kimia. Tapi kau bilang ada tiga murid di perpustakaan, betul?"

"Iya. Aku, Marida dan Natalia—yang pulang pukul setengah lima karena dia merasa mual-mual."

"Dia mual. Kemungkinan pergi ke kamar mandi karena hendak mengeluarkan semuanya. Sedangkan pembunuhan terjadi di kamar mandi. Menarik. Kuakui kesaksianmu ini cukup membantu. Tapi, apa kau yakin hanya mereka yang tersisa di sekolahan?"

"Sekolah selesai pukul setengah empat. Umumnya sudah tidak ada murid lagi pukul empat sore. Hanya ada anak rajin dan anak yang dihukum."

"Kau melihat guru?"

"Bu Chery dan Pak Avery berbincang di perpustakaan pukul setengah lima. Lalu Bu Cherry pergi menyisakan Pak Avery. Pria itu pergi depan belakang dengan Marida."

Polisi itu memasukkan beberapa nama yang disebut Kinara.

1. Henric - Penjaga Sekolahan.
2. Marida - Siswi.
3. Natalia - Siswi.
4. Tristan Kiehl - Siswa.
5. Chery - Guru.
6. Avery - Guru.
7. Kinara - Siswi.

Polisi itu tidak terlalu menaruh curiga di nama-nama itu kecuali pada Tristan. Dia masih di sekolahan sampai pukul lima lebih lima belas dan katanya, Tristan sempat ingin menyerang orang lain juga. Tapi yang lain memang tidak bisa diabaikan karena orang-orang ini berada di sekolahan saat pembunuhan diasumsikan sedang berlangsung.

"Aku akan menyelidiki mereka termasuk kamu." Polisi itu menatap Kinara dengan serius.

"Oh, ayolah!" Kinara berdecak sebal.

"Nak, hanya untuk memastikan."

"Oke! Tapi jika aku bisa dipastikan tidak terlibat, maka kau harus membayarku lima ratus ribu!"

Polisi itu terkekeh.

David tiba-tiba menyerobot. "Wah Kinara dari sebelah, ya? Senang berjumpa denganmu di sini."

"Hey, David! Sedang membantu?" tanya Kinara.

"Sedang gabut, barangkali." David menghela napas. "Oh ya, Nico." David menepuk bahu polisi muda yang ada di hadapan Kinara—Nico. "Tadi kudengar kau mendapatkan telephone dari seorang wanita yang katanya rumahnya disusupi orang gila."

Nico terkekeh. "Itu wanita kesepian yang mencari sensasi."

"Tidak ada yang memastikannya ke TKP?"

"Sudah. Tapi orang gila yang dimaksud itu sudah pergi."

"Syukurlah kalau begitu." David menghela napas.

"Kau tahu, dulu juga ada wanita tua yang menelephone. Dia bilang nyawanya sedang terancam. Tapi ternyata dia tidak bisa memasang gas. Masalah nyawa terancam—dia tidak bisa memasak kalau gasnya tidak dipasang, jadi dia tidak makan."

Mereka bertiga terkikik.

"Ngomong-ngomong, bagaimana tugasmu?" Nico berbisik.

"Baik, sejauh ini!"

"Turut senang atas hal itu!"

xxx

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang