[35]

89 23 3
                                    

Dalam sekejap, sekolah telah heboh. Beberapa murid menyumpal bibirnya sendiri, beberapa lainnya mematung seakan tidak percaya atas apa yang mereka lihat. Aku berdiri di antara kerumunan itu dengan kaki yang memijak tanah dengan kokoh. Walau begitu, jantungku terasa berdegup kencang karena senang.

Avery dibawa oleh polisi-polisi itu. Kedua tangannya diborgol dengan borgol identik dengan yang biasa digunakan untuk memborgol tanganku dan mengaitkannya ke tiang ketika aku melakukan kesalahan. Walau begitu, dia tidak menundukkan pandangannya seperti halnya penjahat pada umumnya. Dia malah menegakkan tubuhnya. Pandangannya berkelana ke sana-kemari. Berkali-kali dia menahan para polisi itu supaya memberinya sedikit waktu.

Aku menerobos kerumunan hingga sampai ke baris paling depan. Di saat itulah, Avery menemukanku. Kedua bola matanya tampak sayu menatapku dengan ekspresi yang tidak pernah kumengerti. Dia meronta dan memohon supaya polisi-polisi itu sudi membiarkannya berbicara denganku barang sejenak.

Setelah sekian saat, mereka pun mendekat. Tatapan Avery kini sempurna menusuk kedua bola mataku. Kami terpaku sesaat.

"Kau... apa kamu terlibat atas hal ini?" tanyanya dengan lirih.

Aku bergeming.

Dagunya bergetar menahan isak yang semampu mungkin dia sembunyikan.

"Jangan lupa makan, jangan lupa minum obat, jangan tidur terlalu larut, bersihkan basement dan aku minta maaf. Selama ini aku kasar padamu, ya? Jadi kau membenciku? Maaf aku tidak bisa memberi yang terbaik untukmu." Belum sampai Avery mengatakan segalanya, para polisi itu telah menyeret tubuhnya.

Aku masih bergeming.

Pria itu mencoba untuk kembali berhenti ketika menatap Natalia. "Natalia, aku titip dia. Dia tidak bisa melakukan sesuatu sendirian," katanya pada Natalia.

Natalia hanya mengacungkan jempol.

Lalu Avery juga berpapasan dengan David. "David—"

"Ayo!" Polisi itu menyeretnya sebelum dia mengeluarkan kalimatnya.

Aku hanya bisa menatap punggung Avery dari kejauhan. Semakin lama dia semakin menghilang bersamaan dengan mobil polisi dan suara sirine yang memudar.

Aku tidak tahu harus apa saat itu. Apakah aku harus menangis atau tidak? Aku tidak mengerti.

Setelah itu, aku memaksa David untuk memberi penjelasan padaku. Dia pun menjelaskannya walau agak ragu dan kikuk.

"Penyelidik menemukan secuil rambut yang bukan milik Tristan. Rambut itu ada di dekat lubang galian yang awalnya digunakan untuk mengubur Tristan. Dan polisi tahu bahwa itu milik Avery."

"Bagaimana bisa langsung tahu?"

David mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Di saat Sanaya dibunuh, nama Avery juga masuk ke dalam daftar tersangka. Jadi dia sempat dimintai sampel rambut yang menyimpan DNA-nya."

Aku menyipitkan mataku. "Polisi juga melakukan hal yang sama padaku. Jadi, aku juga dicurigai, ya?"

David menundukkan pandangannya. Dia seakan tidak mampu menjawab pertanyaanku tadi. Tapi pada akhirnya dia mengatakan, "Banyak orang yang dicurigai."

Aku memutar kedua bola mataku. "Tapi apa menurutmu Avery itu The Rose Killer?"

David menggeleng. "Aku rasa, The Rose Killer tidak sebodoh ini."

"Atau Tristan yang terlalu pintar? Rambut Avery ada di sana. Setahuku Avery tidak memiliki masalah rambut rontok, lho. Jadi, apa Tristan menjambaknya sebelum dia mati? Sama seperti dia memberi petunjuk soal inisial 'A' di tanah?"

David menghela napas panjang. "Sepertinya memang begitu. Tapi, bisakah kita melupakan ini sesaat? Aku tidak ingin kau memikirkannya dan berlarut-larut."

"Aku tidak berlarut-larut. Aku malah senang jika pelaku pembunuhan dihukum."

David hanya ternganga sembari menatapku dengan aneh.

xxxx

Aku membanting tasku di atas sofa. Kini rumahku terasa hening. Walau Natalia di sini, gadis itu tidak pernah menggantikan Avery.

Mulai hari ini, mungkin aku tidak dapat lagi melihat Avery memasukkan bahan makanan di kulkasku, mungkin dia tidak lagi memasak di dapurku atau membersihkan lantaiku yang telah kutumpuahi dengan susu. Dia juga tidak akan datang di malam hari saat aku berteriak dan bermimpi buruk. Dia tidak akan mengantarku dan menjemputku dari sekolahan.

Namun apa pun itu, yang kulakukan ini adalah pilihan yang benar.

"Kuyakin Avery sedih jika mengetahui bahwa kau yang seolah menyeretnya ke dalam penjara. Padahal dia melindungimu dari Tristan. Mungkin saat itu dia tidak sengaja melukai Tristan dan terpaksa menaruhnya di hutan." Natalia menepuk bahuku. Dia menatapku dengan nanar. "Jika aku jadi kamu, aku tidak akan membuat satu-satunya orang yang peduli padaku dalam masalah."

"Kau tidak tahu, Natalia. Ini merupakan keinginanku. Ini merupakan pilihan yang paling benar." Aku menyeringai sesaat.

"Benar?"

"Kau tidak pernah mengerti kenapa aku melakukan ini, Natalia."

Gadis itu menekuk dahi. "Tapi sepertinya sebentar lagi aku akan mengerti."

Natalia menghela napas panjang setelahnya. Dia duduk di sofa dan menyalakan televisi. Berita menampilkan wajah Avery. Masyarakat mulai berspekulasi bahwa dia adalah The Rose Killer. Tapi sampai saat ini, belum ada bukti jika dia adalah The Rose Killer.

Namun jika dipikir-pikir, dia bukanlah pembunuh berantai itu. The Rose Killer membunuh dengan rapi dan cermat. Dia tidak meninggalkan apa pun yang bisa menjadi petunjuk atas siapa dia. Tapi Avery meninggalkan banyak hal. Perbedaan pembunuhan yang dilakukan Avery dan pembunuhan berantai itu sangat kontras.

Natalia memegangi pelipisnya. "Oh ya, Avery menitipkanmu padaku, lho."

"Lalu?"

"Apa yang biasanya Avery lakukan padamu?"

"Menyuruhku membersihkan basement."

"Nah, sekarang bersihkan basement!"

Aku terkikik. "Kupikir aku akan bebas tanpanya. Tapi ternyata ada Avery versi lite."

"Ngomong-ngomong, aku tidak pernah bisa memasuki basement dan ruangan itu." Natalia menunjuk ruangan terkunci yang berada tepat di hadapan kami. "Itu ruang apa ya?"

"Dulunya kamar ibuku. Sekarang tidak tahu. Kuncinya hilang."

Natalia menyipitkan mata. "Betul hilang?"

Aku mengangguk.

"Padahal aku lihat Avery pernah masuk di sana."

"Yang benar?"

"Iya. Lalu dia kembali keluar. Ketika aku bertanya kenapa, dia tidak memberi kejelasan. Dia hanya mengatakan kalau dia sedang mencari sesuatu. Jadi, kalau begitu kuncinya dibawa Avery, 'kan?"

"Tapi dulu Avery juga mencari kuncinya. Apa dia sudah menemukannya, ya?"

Natalia mengangkat bahu. Gadis itu pun bangkit. Dia menuju ke pintu tertutup itu. Salah satu matanya mengintip dari lubang kunci.

"Ada apa?" tanyaku.

"Tidak ada apa-apa sih. Aku melihat ranjang, meja dan hal-hal yang ada di kamar pada umumnya. Lalu di atas meja ada um... kosmetik, parfum dan benda kotak itu... ah, laptop, ya?"

"Itu mungkin milikku."

"Lho, katanya kau lupa di mana kuncinya dan sudah lama sekali tidak masuk ke dalam?"

Aku menggigit bibirku. Dengan cepat aku menggeser tubuh Natalia dan melirik ke dalam lewat lubang pintu. Natalia benar. Kamar itu seakan terawat padahal tidak pernah kumasuki. Bahkan aku yakin kalau sudah setahun lebih aku tidak masuk ke sana. Tapi bagaimana bisa kamar ini sepertinya rapi? Apakah Avery yang merapikannya. Atau... orang lain?

Jika memang orang lain, maka tidak salah lagi. Gadis itu diam-diam menyelinap ke rumah.

Gadis yang menitipkan bunga lily...

xxxxx

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang