[41]

70 16 2
                                    

Angel

Sejak kecil, aku selalu mendapatkan perundungan. Aku tidak tahu apa alasannya. Hanya saja, orang bilang kalau ibuku merupakan pelacur dan ayahku meninggalkannya. Hal ini terjadi karena ibunya Kinara dendam atas ibuku. Desas-desus itu menyeruak ke mana-mana. Fitnah itu mencabik-cabikku tanpa ampun.

Saat aku masih sekolah dasar, seorang gadis menyiram punggungku dengan teh panas miliknya. Ketika aku mengadukannya ke guru, guru itu menjawab, "Itu tidak sengaja."

Amarah langsung mendidih dalam benakku. Aku berusaha untuk menahan segala kerunyaman perasaanku. Awalnya, aku tidak pernah ingin menjadi penjahat atau pun pembunuh.

Bertahun-tahun setelahnya, aku bertemu Norman. Dia lebih mengerti aku dari siapa pun yang kukenal. Dia mencintai aku lebih dari siapa pun yang dia miliki. Hingga pada akhirnya, kehadirannya benar-benar meneguhkan sempurna keyakinan bahwa aku bukanlah penjahat.

Namun dia terenggut begitu saja.

Ketika tubuhnya dikubur di bawah tanah, aku berusaha menjadi orang yang menerima takdir. Aku berusaha tidak berdendam pada Sanaya yang menabraknya. Saat itu kupikir pengadilan telah menyiapkan hukum yang sebaik-baiknya untuk Sanaya.

Namun aku salah.

Orang-tuanya mengatur supaya gadis itu tidak dituntut oleh hukum. Saat itulah, semua perasaan baikku pecah berkeping-keping. Aku melihat keluarga itu makan di restoran bintang lima karena merayakan kebebasan putri mereka atas jeratan hukum.

Dibanding dengan Sanaya, aku lebih membenci kedua tikus berdasi itu.

Jadi, untuk menghukum mereka, aku memutuskan untuk menghabisi Sanaya supaya mereka bisa merasakan hukuman yang sesungguhnya.

Setelah itu perasaanku berubah. Aku merasa bahwa aku lebih baik. Membalas dendam dengan cara seperti itu membuat satu-persatu penderitaanku berangsur-angsur memudar. Jadi, aku ketagihan. Aku ketagihan ketika sarung tangan latex yang kukenakan berlumuran darah.

Setelah sekian lama, aku kembali melakukannya lagi. Dengar-dengar, beberapa orang-tua dari para pembullyku saat sekolah dasar dulu mengadakan perjamuan di rumah besar mereka. Aku menaruh dendam pada anak-anak yang membullyku, jadi dengan membunuh orang-tuanya, aku akan merasa membalas setiap inci dari luka itu.

Aku tidak ingin bercerita banyak pada diriku sendiri. Secara tiba-tiba tanganku bergerak memasukkan racun ke dalam wine, mematikan arus listrik serta sambungan telephone, serta menusuk-nusuk mereka dalam kegelapan.

Aku sadar beberapa dari mereka tidak minum wine, jadi aku memutuskan untuk mengikat mereka dan melubangi perut mereka. Di dapur ada keju dan biji-bijian. Aku meletakkan makanan itu ke perut mereka lantas melepaskan tikus-tikus yang diperangkap dengan perekat di loteng. Malam itu begitu mencekam dengan segala jeritan keputus-asaan. Walau begitu, tidak ada suara yang mampu merobek keheningan malam. Rumah—atau mungkin villa—ini terlalu jauh dari peredaran.

Dan ketika kedua tanganku—yang dibalut dengan sarung tangan latex—ternoda oleh darah-darah manusia yang sama sekali tidak kuketahui apa kesalahannya ini, aku merasa bahwa aku tidak akan pernah diampuni oleh siapa pun. Hari ini, untuk yang pertama kalinya aku melihat diriku yang berlumuran darah dan dosa. Secara sembarangan aku menyeret-nyeret yang lainnya dalam kesalahan yang sama.

Di cermin besar yang ada di hadapanku ini, aku bisa melihat bahwa aku bukan lagi manusia. Aku sama sekali bukan manusia.

Namun karena semuanya sudah terlanjur, maka aku tidak akan membiarkannya berhenti. Tinggal sebentar lagi, semuanya akan selesai.

Setelah aku membersihkan diri di kamar mandi rumahku, aku mencuci muka. Darah mengalir bersamaan dengan air. Kali ini, lebih banyak dibanding dengan biasanya. Aku menatap diriku kembali di cermin. Sudah tidak ada lagi noda darah, tapi noda dosa itu masih belum luntur dari kedua bola mataku.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang