[61]

64 15 1
                                    

Eldmar Martin di sini, menodong senapan ke belakang kepalaku, menyeringai dan mencoba menerka ketakutanku. Tapi anak lelaki itu salah, aku tak pernah takut.

Ketika aku melihat Bu Chery versi kedua itu, aku mulai menyadari bahwa manusia merupakan makhluk paling sakit se-alam semesta. Mereka—termasuk aku—rela melakukan apa pun untuk menuntaskan keinginan mereka. Keinginan Eldmar adalah menangkapku entah hidup atau mati. Aku tahu itu. Ada sesuatu dalam benaknya yang menarik dirinya dalam lubang penasaran yang lebih dalam lagi. Rasa ingin tahunya itu mengubahnya menjadi sinting. Dan seperti itulah yang kutemui saat ini.

Eldmar Martin menodongku senjata walau aku tidak pernah membuat tubuh atau perasaannya lecet sedikit pun.

Aku menengadah sesaat.

"Aku juga bisa menggenggam nyawa seseorang," katanya tanpa ragu.

Saat itu juga aku mulai menyadarinya. Eldmar merupakan psikopat yang narsistik. Tentu. Psikopat bukanlah dia yang berlaku kejam dan suka membunuh, tapi dia yang berlaku narsistik, rela melakukan segalanya demi mencapai tujuan, kejam tak berperasaan dan tidak bertanggung jawab; itu semua merupakan ciri dari seorang psikopat. Kenapa aku menyebut Eldmar seperti itu? Karena dia rela melakukan apa pun untuk menangkapku. Bahkan dia mengorbankan seluruh anggota komunitasnya, menyuruh mereka untuk menangkapku tanpa peduli bahwa mereka bisa kuhabisi kapan saja. Sedangkan dia duduk manis menikmati permainan, lantas hendak bersikap seperti pahlawan di akhir.

Yah, manusia memang menarik.

"Aku turut senang karena kau telah mencapai apa yang kauinginkan," balasku dengan senyuman setelahnya. "Aku senang melihatmu menemukan tujuanmu yang membuatmu selama ini gila dan tidak waras. Kau tahu, kau mirip dengan Johann-ku. Sayangnya dia memiliki kekuatan bergerak yang terbatas dan mudah terkena tekanan mental. Jika tidak begitu, maka dia sudah menjadi seperti kamu."

Anak lelaki yang baru saja memasuki usia remaja itu menyeringai, lantas menghela napas panjang.

"Tapi ingat, apabila kisah ini dituang dalam bentuk cerita fiktif, maka namamu hanya akan dikenal sebagai karakter sampingan. Siapa kau?" Aku terkekeh.

Agaknya, kata "karakter sampingan" mampu membuat darah narsistik Eldmar mendidih. Dia kembali menekankan senapan itu ke bagian otak kecilku.

"Dengar, bahkan kau takkan dianggap pahlawan jika kau membunuhku," kataku lagi. "Dilihat dari sisi mana pun, aku tetaplah pihak yang menang. Sedangkan Eldmar hanya detektif gadungan, psikopat yang narsistik."

Dia meremas senapannya.

Yah, aku tahu Eldmar takkan menembak. Jadi aku memutuskan untuk membalikkan badanku. Dia melemaskan genggamannya pada senapan itu.

Saat itu aku baru menyadari bahwa senapan yang dia bawa sama seperti milik Bu Chery yang kini kugantung di punggungku. Aku tidak terlalu tahu apa nama julukannya. Tapi sepertinya benda itu bernama Lee-Enfield SML dengan peluru 0,303.

"Bagaimana jika kita bertaruh di sini? Kau suka game tembak-tembakan, 'kan? Bagaimana jika kita bertempur dan buktikan siapa yang paling hebat menggunakan senapan." Aku menyeringai.

Eldmar menekuk bibir karena ragu. Walau bagaimana pun, dia gentar karena aku memiliki lebih banyak senapan serta peluru. Aku membawa tiga di tubuhku, yakni milikku sendiri; Sturmgewehr 44, rampasan dari Bu Chery; Lee-Enfield SML dan rampasan dari ayah Natalia yang entah apa namanya. Itu merupakan pistol biasa, sejujurnya. Bukan senapan laras panjang seperti yang lainnya.

Dengan santai, aku memberikan rampasan milik ayah Natalia kepada Eldmar. Aku cukup yakin bahwa di dalamnya masih banyak peluru.

Anak lelaki itu merebutnya, lantas memeriksa pelurunya. Aku tidak tahu masih ada berapa, yang pasti dia senang akan hal itu—mengingat cadangan peluruku juga hampir habis. Aku juga belum memeriksa berapa banyak peluru yang tersisa di dalam Lee-Enfield SML milikku.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang