Sudah berkali-kali Nico mengawasi Natalia. Walau tidak ada bukti yang jelas, Nico cukup yakin dengan apa yang menjadi asumsimya. Pernah sekali Nico secara kebetulan bertemu gadis itu di sebuah trotoar. Seorang anak jalanan liar memalak dompetnya. Dengan santai dia memberikan dompet tersebut. Tapi setelah anak itu berbalik badan, Natalia meraih batu dan menghantam kepalanya dengan keras.
Hal itu membuat Nico dan Ray terpaksa membawa gadis itu untuk sesaat. Sekali lagi, Nico dihadapkan dengan Natalia. Sekali lagi dia menganalisis sifat Natalia. Gadis itu beremosi, tapi sering menyembunyikan emosinya dengan sifat santai.
Ajaibnya, Natalia tahu kalau Nico mencurigainya sebagai "The Rose Killer". Hal itu membuat Nico terbelalak. Natalia mampu mengatakan apa pun soal asumsi Nico.
"Kau mencurigaiku lebih lanjut karena aku memiliki kaitannya dengan Ashton Key, 'kan?"
Hal itu membuat Nico tidak lagi bersuara. Gadis itu mampu menembak apa yang dia pikirkan.
Tentang Ashton Key, dia meninggal beberapa waktu lalu. Dia sudah melewati hampir beberapa bulan dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Tapi tiba-tiba dia meninggal karena serangan jantung. Saat itu, Ashton belum mengatakan banyak hal tentang "The Rose Killer". Tapi pertama kali Nico menemui Ashton, dia pergi bersama seorang petugas muda perempuan dengan tinggi sekitar seratus enam puluh sentimeter dan bertubuh agak kurus. Ketika Nico mencoba bertanya seperti apa "The Rose Killer", Ashton mengangkat dahinya dan seakan menunjuk petugas perempuan itu.
Hal ini membuat Nico menjadi yakin kalau "The Rose Killer" adalah perempuan dan dia memiliki ciri yang cukup mirip dengan petugas perempuan yang bersama Nico hari itu.
Ciri seperti itu juga dimiliki oleh Natalia—walau sekarang gadis itu agak gemuk karena mengandung.
Sejak pembunuhan Josefa di kamar mandi umum, belum ada pembunuhan lagi.
Pembunuh itu seakan lenyap beberapa saat.
Namun para keluarga korban terus membuat sayembara untuk menemukan pembunuh berdarah dingin itu. Semakin lama upahnya semakin tinggi. Tapi tidak ada satu pun yang dapat menyelesaikan tugas itu.
Semua orang menyerah.
Kecuali anak lelaki bernama Eldmar Martin yang berulang-kali membuat kegaduhan karena teorinya yang semakin lama semakin tidak masuk akal. Awalnya, dia berteori realistis dengan mengatakan hal-hal berlandaskan logika. Tapi lama-kelamaan dia mengaitkannya dengan setan, pemujaan dan tumbal. Dan parahnya, tidak sedikit masyarakat yang mempercayainya.
Dan setiap kali teori-teori Eldmar menurun peminatnya, anak itu akan membuat teori baru. Hingga pada akhirnya Nico sadar bahwa anak lelaki itu hanya ingin diperhatikan. Tipe orang yang narsistik dan haus perhatian. Padahal, anak itu sendiri pernah dicurigai karena bau pafrumnya. Nico juga belum melepas kecurigaannya pada Eldmar. Kenarsistikannya sama seperti Si Pembunuh yang seakan terus ingin dilihat dengan cara membuat ikonnya sendiri—mawar dan parfum. Ciri fisik Eldmar juga mirip dengan apa yang telah menjadi spekulasi pada awalnya. Tingginya sekitar seratus enam puluh lima sentimeter dan dia agak kurus. Walau Eldmar lelaki, tapi dia juga memiliki wajah seperti perempuan dengan potongan rambut pendek.
Hari ini di kantornya, ada sebuah surat yang dikirim anonim.
Petunjuk! Sangat penting!
Nico menekuk dahi. Dia membuka surat itu dengan sarung tangan latex. Saat ini, dia tidak percaya siapa pun lebih-lebih anonim. Dengan agak ragu, Nico membaca surat tersebut.
Saya tidak ingin memperkenalkan diri saya. Ini terlalu bahaya. Saya tidak ingin mengumpankan diri saya pada The Rose Killer.
Terus terang saja, saat itu tanggal 25 Agustus—sekitar tiga bulan lalu—saya melihat The Rose Killer. Dia bersama gadis muda yang saya yakini adalah Josefa Claire. Posisi saya di sebuah jalanan yang cukup sepi dengan penerangan minim. Tepatnya di sekitar jembatan di jalan Gilyard. Saya tidak tahu nama jembatannya, yang pasti bawahnya merupakan aliran air yang cukup jernih.
Saya akui bahwa saya mabuk, tapi saya bisa mengingatnya. Josefa mengenakan jaket ungu dan menggendong rasnel. Lalu The Rose Killer menggunakan mantel musim dingin dan legging. Alas kakinya merupakan sepatu hak tinggi. Dia juga membawa ransel berwarna putih. Satu lagi, dia menggunakan penutup kepala. Dan setelah saya pikir-pikir, hal itu merupakan pencegahan supaya rambutnya tidak jatuh ke TKP.
Saat melihat saya, The Rose Killer seakan menyuruh Josefa untuk menghindari saya. Lalu saya mengikuti mereka karena rasa penasaran dan mabuk saya. Setelah itu, mereka sampai di kamar mandi umum. Saya sempat teler dan tertidur di luar. Tapi tiba-tiba suara tembakan membangunkan saya. Saya pun berlari kencang tanpa peduli lagi.
Namun itu membuat saya merasa bersalah. Harusnya saya tidak mabuk hari itu supaya saya bisa melihatnya dengan lebih jelas lagi bagaimana wajah gadis itu.
Iya. Itu adalah gadis. Dia bukan gadis dewasa. Tapi dia seperti anak remaja. Saya tahu betul.
Saya hanya bisa mengatakan ciri-cirinya. Setahu saya, Ashton Key tidak sempat mengatakan banyak hal.
Semoga ini cukup.
Terima kasih atas perhatiannya.
Nico menekuk dahi. Ini cukup membantunya. Sepatu hak tinggi. Apakah pembunuh itu mengenakan sepatu hak tinggi? Jika iya, maka dugaan bahwa tingginya sekitar seratus enam puluh sentimeter itu terpatahkan. Pasti dia sengaja melakukannya untuk menyembunyikan tingginya.
Pintar juga.
Tiba-tiba Ray masuk ke ruangan dengan napas terengah-engah.
"Nico, hari ini dia kembali."
xxxxxx
Dengan cepat, Nico, Ray serta anggota kepolisian lainnya menuju ke sebuah rumah besar di daerah ujung kota. Rumah itu berdiri kokoh di atas sebuah tanah dataran yang cukup tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.
Saat membuka ruang tamu, aroma semerebak parfum La Fleur melati menghantam indra penciuman Nico. Kali ini sangat menyengat. Begitu pula bunga-bunga mawar telah ditabur dan berhamburan ke mana-mana.
Tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak begitu saja. Sangat kaku dan berdarah-darah. Walau tidak terlalu parah, tetap saja darah itu menumpuk dan menggenang. Bau anyir sama sekali tidak tercium karena semerbak parfum. Jumlah tubuh-tubuh itu sekitar lima belas. Beberapa pelayan juga ditemukan di dapur. Dugaan awal, mereka mati karena diracun.
Setelah itu jasadnya di mainkan oleh Si Pembunuh. Beberapa mayat kulitnya terkelupas, beberapa lainnya perutnya menganga dan terluka. Ada bekas-bekas keju dan biji tumbuhan di atasnya. Lubang-lubang di perut itu seakan menandakan bahwa tikus baru saja menggerogotinya. Lalat-lalat berterbangan ke sana-kemari.
Jantung Nico bergedup kencang. Jasad-jasad lainnya belum bisa dia lihat secara utuh. Tapi dia yakin pasti, bahwa Si Pembunuh bukanlah manusia lagi. Dia rela membunuh lima belas orang yang ada di rumah besar itu. Mereka semua merupakan orang-orang elit berdasi.
Namun Nico langsung paham jika orang ini bukanlah orang yang hendak dijadikan korban yang sesungguhnya. The Rose Killer tidak membunuh pelaku kejahatan, tapi dia membuatnya menderita. Jadi, jika ada orang yang dibunuh begini, maka yang menderita adalah orang terdekat mereka.
Nico harus segera mencari tahu bagaimana latar belakang orang-orang ini. Entah kenapa, Nico seakan melihat celah dari pembantaian ini.
"Nico, lihat!" Ray berseru.
Nico membalikkan badannya. Di belakang pintu masuk, ada sebuah tulisan yang dibuat dari cat merah.
Aku hampir selesai, Tuan Nico. Tinggal beberapa orang lagi, aku akan selesai. Tapi permainan tidak akan berakhir begitu saja. Bisakah kau menangkapku sebelum aku memulai babak baru?
Nico mulai ternganga. Ketakutan mulai menjalar ke seluruh aliran darahnya. Dia tidak mengerti bagaimana pembunuhnya tahu kalau dia adalah orang yang paling berhasrat untuk menangkapnya?
Sebenarnya siapa dia? Apakah dia merupakan salah satu orang yang mengenal Nico? Apakah dia adalah salah satu orang yang diwawancarai Nico atas kasus tersebut?
Entah kenapa, memikirkannya membuat lutut Nico menjadi lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...