Isabella
Aku terbangun dari tidurku. Bajuku masih sama—gaun putih yang lusuh dan agak basah. Kutemukan diriku terlelap di ubin yang dingin sembari telungkup. Aku pun bangkit setelah membuka mata selama beberapa detik. Pagi ini mendung. Aku tahu karena tidak ada setitik pun cahaya yang masuk ke celah-celah rumah tua ini.
Ah, ya, aku harus menyiapkan roti lapis untuk Natalia.
Jadi aku langsung berdiri. Aku tergesa-gesa menuju ke kulkas dan mengambil bahan-bahan untuk membuat sarapan itu. Ketika aku menaruh roti itu di meja makan, aku mulai menyadari sesuatu.
Aku mematung sejenak.
Air mataku kembali mengalir membasahi roti-roti itu. Aku baru ingat, Natalia sudah tidak ada.
Dadaku terasa sesak ketika mengingatnya. Rasanya tertusuk-tusuk oleh belati yang tajam. Pedih, sakit dan sesak. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.
Aku pun menghela napas panjang dan mengusap air-mataku. Aku duduk di kursi lantas memakan roti tawar itu.
Aku mengingat baby Raph. Anak lelaki Natalia yang aku ketahui telah berada di dinas sosial hari ini. Ayah Natalia secara langsung menagatakannya padaku. Dia tidak membutuhkan gadis itu atau pun putranya. Ketika aku mengingat kalimatnya, aku merasa geram. Pada akhirnya aku meremas erat-erat roti yang ada di genggamanku.
Di saat yang bersamaan, suara gedoran di pintu membangunkanku dari lamunan. Di luar terdengar kegaduhaan yang dilontarkan lebih dari dua tiga orang.
Aku pun penasaran atas apa yang terjadi. Jadi aku memutuskan untuk memeriksanya. Aku mengintip dari lubang kunci di pintu depan.
Sial.
Alangkah terkejutnya aku setelah melihat kerumunan orang yang memasang wajah penuh amarah. Mereka membawa jeriken-jeriken yang entah apa isinya, sebuah linggis dan benda-benda tajam lainnya. Aku juga melihat wajah Marida dan Judith terpampang jelas dengan seringai.
Aku membelalak.
Orang-orang ini lebih dari sekadar sinting. Aku tidak tahu kenapa mereka ada di sini. Tapi alasan yang paling masuk akal adalah; mereka telah tahu bahwa aku merupakan tersangka pembunuhan dan polisi pernah membawaku. Tapi, polisi sendiri tidak yakin atas hal itu. Lantas kenapa orang-orang sinting ini begitu yakin?
"Isabell, keluar!" seru mereka. "Keluarlah pembunuh, keparat!"
Aku menekuk bibir. Aku tidak akan keluar. Aku membalikkan tubuhku dan duduk di sofa—menunggu mereka mendobrak pintu rumahku dan melakukan sesuatu yang membuat diri mereka sendiri dalam ancaman maut.
Walau masih ada kemungkinan kalau mereka akan menghabisiku, aku tidak terlalu peduli. Memangnya, untuk apa lagi aku hidup?
Aku pun meraih ponselku. Aku mengambil laptopku yang ada di bawah meja dan membuka salah satu media sosial yang aku miliki dan melakukan siaran langsung. Walau pengikutku tidak banyak, aku harap ada seseorang yang melihatnya. Melihat bagaimana detik-detik terakhirku ini. Jika memang mereka ingin menghabisiku, maka dengan bukti ini, mereka akan terberatkan.
Aku menatap kamera sejenak, lantas menghela napas panjang.
Pada akhirnya, suara-suara di luar mampu menggertak kecemasanku. Tanganku mulai gemetar dan ketakutan ketika mendengar mereka akan membunuhku balik—seperti yang kulakukan pada orang-orang itu.
Hal sinting lainnya mulai terjadi. Aku melihat kepulan asap yang masuk melalui celah-celah di pintu. Aku langsung kepanikan setengah mati. Napasku mulai terengah-engah dan aku menjerit keras. Aku segera berlari ke pintu samping setelah meraih ponselku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...