[33]

97 19 12
                                    

Plak...

Satu tamparanku menghantam pipi Avery tanpa sopan santun. Dia mengelusnya perlahan, lantas menatapku dengan kedua bola mata yang dijejali banyak pertanyaan.

"Aku sudah menyingkirkan kameranya. Kau sudah tidak bisa mengintaiku lagi." Aku menyeringai.

Aku melihat dagu Avery bergetar samar.

"Sekarang pergilah dariku! Pergilah selamanya! Aku tidak ingin melihat wajah dari seorang pembunuh!" pekikku.

"A-apa yang kaukatakan? Pembunuh?"

"Karena aku tidak waras, bukan berarti kau bisa memanipulasiku! Kau mengatakan bahwa apa yang kulihat soal kamu yang berdarah-darah itu adalah mimpi, tapi itu nyata, 'kan? Kau membunuh seseorang dan menguburnya di belakang rumahku, 'kan? Lalu kau juga membunuh Tristan, 'kan? Kau menjijikkan, tahu!"

"Isabella..."

"Isabella, Isabella, Isabella... Aku muak mendengar kamu menyebut namaku. Sekarang pergilah! Pergi sana! Aku tidak membutuhkanmu!"

"Aku hanya—"

"Kau hanya bajingan." Aku terkekeh. "Kau penipu, kau pembunuh!"

Dia menarik lenganku dan mendekatkan wajahnya ke arahku. "Dengarkan aku, aku bukan pembunuh. Apa pun yang terjadi, kau harus percaya padaku! Aku bukan pembunuh."

Sepasang netra kelabu itu seakan menghipnotisku. Tetapi aku masih terus bergumam. "Aku akan melapor kepada polisi."

"Aku bukan pembunuh. Avery, bukan, pembunuh, bisakah kau mengingat tiga kata itu?"

Benar. Avery adalah penyihir. Dia seakan menyihirku dengan matanya, lantas membuatku tenang sejenak.

Sekali lagi, dia membawaku dalam pelukannya, mendekapku dengan erat hingga seluruh tubuhku terasa hangat. Kedua bola mataku mulai memerah dan basah.

Dalam benakku, telah kutegaskan bahwa aku harus menyingkirkan Avery dari dalam hidupku—apa pun yang terjadi. Pria ini harus pergi dari sini. Tetapi jika dia pergi, bukankah aku akan merindukannya? Jadi, apakah aku perlu salam perpisahan?

"Avery," lirihku, "aku ingin menciummu."

Dia menggeleng. "Jangan buat hubungan kita menjadi hubungan yang seperti itu, Isabell. Aku tidak ingin."

"Kamu selalu bohong. Bahkan membohongi dirimu sendiri, 'kan?" tanyaku.

"Aku minta maaf. Aku tidak bisa... aku tidak bisa melakukan sesuatu yang tidak pantas padamu."

Aku melepaskan pelukan itu. Kami bergeming sesaat, saling larut dalam pemikiran masing-masing. Aku memainkan dasi abu-abu Avery—menariknya, lantas mengendurkannya.

Dia menahan tanganku.

Aku tidak peduli lagi. Aku berjinjit, sekali lagi mengarahkan bibirku ke bibirnya. Untuk kedua kalinya, kami dalam posisi ini. Untuk yang kedua kalinya Avery tidak langsung mengelak. Dia sama seperti kemarin, bergeming sesaat, lantas larut dalam perasaannya. Aku merangkul Avery dengan erat—seakan tidak ingin melepasnya walau sedetik. Tetapi, aku perlu. Setelah beberapa saat, dia menaruh kedua telapak tangannya ke pinggangku.

Mau bagaimana pun, Avery adalah seorang pria. Dia begitu lemah hanya dengan satu Succubus.

"Perlukah aku membuka pakaianku?" bisikku.

Dia bergeming.

Kuanggap itu merupakan sebuah persetujuan. Aku mulai membuka satu-persatu kancing bajuku. Tetapi, dia menahan lenganku tanpa berkata apa-apa.

"Kita lakukan lain kali saja," kata Avery pada akhirnya.

"Avery... "

"Aku tidak terlalu tertarik dengan seks."

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang