[10]

170 36 2
                                    

Semalaman aku menangis dan meraung di kamar. Sementara Avery menyesap teh di dapur. Sekeras apa pun aku berteriak, Sonia Varshen dan putranya tidak akan kembali. Avery mengajakku menghadiri pemakamannya besok lusa—mengingat ini kasus bunuh diri dan mayat masih ada di tangan pihak berwajib. Barangkali, mereka akan menyelidiki hal lain. Sebab masih ada celah bahwa ini disengaja oleh pihak lain.

Yah, tidak menutup kemungkinan.

Aku tahu, semua warisan Sonia akan jatuh padaku. Belum lagi harta yang dititipkan oleh kedua orang-tuaku yang entah minggat ke mana. Aku tahu, harta peninggalan itu cukup besar jumlahnya. Tapi takkan cukup untuk mengatasi kesepian dan kesendirianku yang hidup tanpa keluarga.

Hanya ada Avery.

Dia benar. Aku masih memilikinya walau dia sinting.

Avery sering melukaiku. Apakah aku akan tahan jika aku harus menghabiskan hidupku bersama orang sinting seperti dia? Walau aku akan kesepian, harusnya aku tidak dibelenggu oleh Avery.

Aku segera menyumpal mulutku dan menghentikan tangisku.

Di saat yang bersamaan, suara langkah kaki Avery menggema menuju kamarku. Aku segera mengunci pintu kamarku. Tapi dia berusaha mendobraknya.

Aku menahannya dengan seluruh kekuatanku. Tapi aku merasa pusing. Aku butuh aspirin. Jadi kuabaikan gedoran di balik pintu itu dan beranjak menuju meja di kamarku.

Namun rasa pusing itu tidak tertahankan lagi. Tubuhku tak lagi bisa merasakan sesuatu, pemandanganku buram saat itu juga. Yang aku sadari, tubuhku telah tergeletak di ubin yang terasa dingin.

Aku memejamkan mata sesaat.

oOo

Johann

Aku sudah mengirimkan pesan pada Angel Chan 1994. Tapi dia tidak kunjung menjawab atau mungkin tidak minat menjawab.

Yah, kuakui ini nekat. Tapi ini adalah cara Detektif Johann untuk memecahkan sebuah kasus. Ngomong-ngomong, aku perlu kopi untuk membuatku tetap terjaga malam ini. Tapi aku sensitif terhadap kafeina. Jadi aku hanya terdiam sembari memandangi laptopku di basement. Suasana di atas tidak terlalu menyenangkan. Alunan musik klasik menggema keras. Pria itu tidak akan membiarkanku mematikan musik itu. Dia bilang kalau dia butuh musik itu untuk merilekskan otaknya.

Hari ini ada koran baru. Seorang wanita bernama Sonia Varshen dan putranya ditemukan tewas. Aku turut berduka. Aku sesekali bertemu dengannya. Dia depresi karena suaminya tewas karena tugas militernya. Putranya masih empat tahun. Sayang sekali. Padahal, aku mau merawatnya jika wanita itu mengizinkan. Anak sedini dia belum pantas untuk "dipaksa" menemui ajal. Tapi semuanya sudah terlanjur.

Aku terus menatap layar laptop itu dan berharap ada notifikasi dari Angel Chan 1994. Agak konyol memang—mengingat ini sudah dua dini hari.

Angel pasti sudah tertidur lelap. Dia seorang gadis dan kebanyakan gadis tidak begadang.

Aku mulai bersenandung. Lagu "In The End" terlontar dari bibirku dengan nada yang cukup fals.

"Bisakah kau menghentikannya?"

Aku menoleh. Pria itu memasang koyok di kepalanya. Aku cukup tahu dia pusing.

"Sorry, Ferdie." Aku terkikik. "Ngomong-ngomong, kapan kita bisa um... berlatih bela diri lagi."

"Aku tak ingin melukaimu lagi."

"Please."

Ferdinand menekuk dahi. "Kapan-kapan saja."

"Oh ya, tehmu sudah habis? Jika belum, aku akan meminumnya."

"Kenapa tidak membuat yang baru?"

"Teh cukup mengandung kafeina. Aku tidak bisa banyak-banyak memasukkan zat itu ke dalam tubuhku. Tapi aku ingin menyesap sedikiiiit saja. Bisa?"

"Tidak ada. Sudah habis."

Aku manggut-manggut.

"Tidurlah, Johann." Dia malah menyodorkan gelas berisi air putih.

Aku ragu-ragu menerimanya. "Kau berjanji tidak memasukkan apa pun di dalamnya?"

Ferdinand menggeleng. "Aku bersumpah."

Aku pun menenggak air itu. Setelah selesai, kutaruh gelasnya di meja. Aku merentangkan tubuhku terlebih dahulu.

"Sayangnya, Johann, beberapa sumpah harus dilanggar," bisik Ferdinand.

Oh sial! Aku tertipu lagi. Dia memasukkan sesuatu!

Pada akhirnya dia terkekeh. "Bercanda."

Aku juga ikut terkekeh dengan dibuat-buat.

"Tidak ada apa pun di sana. Aku ingin kau seperti ini saja." Dia menghela napas. "Aku akan tidur. Kau juga tidurlah."

Aku tersenyum kecut. "Okay, Dad."

oOo

Isabella

Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku selama beberapa waktu. Sebenarnya bisa, hanya saja aku tidak niat melakukannya. Setelah mendengar kematian Sonia dan putranya, aku merasa bahwa aku tidak perlu hidup lagi. Tapi sama seperti manusia pada umumnya, aku tak ingin mati.

Aku hanya bisa mengalirkan air mataku di ranjang. Avery menyuapiku makanan dan minuman selama beberapa waktu. Aku cuti dari sekolah, tapi dia tidak. Jadi dia tidak selalu ada di sisiku saat itu.

Hanya saja, hari ini waktunya Sonia dan putranya dimakamkan. Avery memutuskan cuti bersamaku.

Kakiku terasa lemas karena kebanyakan menangis dan pingsan. Jadi Avery harus menuntunku perlahan.

Ketika peti mati Sonia serta putranya ditanam di dalam tanah, aku tidak lagi bisa menangis. Avery berbisik bahwa air mataku telah mengering dan habis.

Aku hanya mematung menyaksikan orang lain menyebar bunga di gundukan tanah itu.

Setelah semuanya selesai, kami berdua kembali ke rumahku.

Aku menatap wajahku yang terpampang dalam cermin. Mata sayuku membengkak dan memerah. Rambutku berantakan. Hal itu membuat Avery perlu merapikannya.

Dia menyisir rambutku dan membuat satu kepangan di samping kanan. Lantas dia mengikatnya dengan pita merah maroon.

"Isabella, aku turut berduka cita," bisiknya.

Aku mengangguk tipis.

"Kau tahu, kau bisa mengandalkanku seutuhnya. Aku bisa mengajukan sebagai wali jika kau mau," kata Avery.

"Aku sudah dewasa. Tidak butuh wali."

"Tapi kau tetap membutuhkan seseorang yang berada di sisimu, 'kan?"

Aku menatapnya sejenak, lantas mengangguk. Kupikir tidak apa. Lagipula, aku tidak memiliki pilihan lain.

"Siapa aku bagimu, Isabella?" Sekali lagi, Avery menanyakan pertanyaan yang sama. "Apa kau menganggap aku orang-tuamu, atau guru matematikamu?"

Aku ternganga sejenak. "Bukan itu."

"Lalu?"

"Aku tidak tahu. Tapi aku tidak pernah melihatmu sebagai orang-tuaku atau guruku."

Dia tersenyum tipis. "Aku memang tidak pernah berminat menjadi salah satu dari mereka. Aku ingin berperan menjadi sesuatu yang lain."

"Apa?"

"Sesuatu yang berharga."

"Seperti seseorang yang kucintai?"

Avery menggigit bibir. Dia menyilakan poniku ke selipan telinga, lantas menatapku. Aku hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah cermin. Tetapi Avery melakukan hal yang sama. Kini pantulan paras kami ada dalam cermin itu. Kami bergeming sejenak, menatap wajah kami yang telah lelah itu.

"Hu'um, seseorang yang berharga, Cantik," kata Avery pada akhirnya.

"Jangan berbohong. Aku tidak cantik!" seruku.

Dia tampak menghela napas panjang, lantas mencium pipiku dengan lembut sembari berbisik, "Kamu cantik."

Setelah itu aku bergeming. Air mataku kembali mengalir karena aku mengingat Sonia Varshen. 

xxx

To be continued ʕ•ﻌ•ʔ ...

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang