Isabella
Aku menyandarkan tubuhku di loker setelah melempar seragam olahragaku di dalamnya. Aku menghela napas panjang. Ruangan ini hening hingga aku mampu mendengar helaan napasku itu. Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada aku dan kerunyaman pemikiranku.
Kasus pembunuhan berantai masih membuat bulu romaku berdiri, belum lagi aku masih mengingat dengan jelas bagaimana Avery berdarah-darah dan mengasumsikan bahwa tangan yang terkubur di belakang rumahku merupakan ulah Avery. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa bahwa Avery adalah The Rose Killer. Apakah aku harus melaporkannya pada polisi?
Jika aku melakukan hal itu, maka pembunuhan-pembunuhan ini akan segera berakhir. Tapi jika begitu, maka aku akan kehilangan Avery selamanya.
Jadi, apa yang harus kulakukan?
Sebenarnya apa yang terjadi?
Siapa pembunuhnya?
Avery atau Tristan?
Kepalaku terasa pening karena memikirkan itu semua. Aku merasa bahwa sebentar lagi aku akan menetap di rumah sakit jiwa dan terkurung dengan jeruji besi yang dingin.
Sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku melompat dan menjerit. Setelah melihat orang di belakangku, aku langsung membungkam mulutku.
"Hey, kau kenapa?" David menatapku dengan heran.
Aku menghela napas panjang. Kata Avery, tidak apa-apa aku berhubungan dengannya. Sungguh tidak apa-apa. Tapi tidak boleh terlalu jauh lagi. Oke, dimengerti.
"Isabell, apa kau marah padaku?" tanya David.
Aku menggeleng.
"Bisakah aku bertanya beberapa hal?" sambungnya.
Aku mengangguk. "Ya, ya."
"Apa kau mengenal Norman?"
Aku menggeleng. "Norman, ya? Tidak."
Dia menekuk bibirnya. Aku bisa melihat bahwa dia memandangku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya. Kedua bola mata itu... sepertinya bukan seperti bola mata David pada biasanya. Ini berbeda.
"Dia anak band, tukang gitar, beberapa bulan lalu meninggal karena kecelakaan. Betul kau tidak mengenalnya?" David kembali memastikan.
"Kenapa sih kamu tak percaya dengan apa yang kukatakan? Padahal aku mengatakan yang sesungguhnya. Apa wajahku tampak seperti seorang pembohong? Lalu kenapa kau memandangku seperti itu? Bisakah kau mengalihkan pandanganmu?" Aku menaikkan nada bicaraku.
"Ah, maaf." David langsung menyahut dengan cepat. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya—"
"Cukup David, cukup! Sekarang kau membuatku kesal!" Aku berdiri.
"Maaf."
"Haaah, kau membuatku stres saja!" Aku hendak pergi dari sana. Tapi David menarik lenganku dengan kencang hingga aku tidak bisa ke mana-mana.
"Katakan padaku, apa yang kaulakukan—"
"Ehem... bisakah kalian pacarannya di tempat lain saja?" Darwis tiba-tiba membuka berdiri di ujung tumpukan loker ini bersama beberapa anak lelaki yang lainnya.
"Iya, kumaafkan," bisikku pada David. Setelah itu aku langsung meninggalkannya.
Aku berjalan di lorong. Arlojiku sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Jam olahraga hampir habis dan jam matematika akan segera menerpa. Tapi aku sudah berganti seragam dan segera masuk ke kelas. Tidak ada orang sepanjang aku berjalan. Lorong-lorong kosong. Bahkan aku bisa mendengar suara langkah kakiku sendiri. Murid-murid lain masih ada di kelas karena pembelajaran. Beberapa murid di kelasku masih sibuk menunggu giliran mereka untuk praktik tolak peluru. Sedangkan bagi kami yang sudah melaksanakannya, guru memerintahkan kami untuk segera berganti baju supaya tidak antre ditoilet nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...