[44]

66 15 0
                                    

oOo

Awalnya tidak ada yang aneh. Gadis-gadis ini duduk bersamaku menikmati secangkir kopi di rumah mereka. Aroma tanah setelah hujan merasuk indra penciuman kami. Ditambah lagi hawa dingin yang seakan menyentuh tengkuk membuat malam ini terasa nikmat. Tapi tidak untuk beberapa jam lagi.

Aku tidak minum kopi. Bahkan aku memutuskan untuk tidak meminum apa pun. Aku duduk manis dengan mantel musim dingin merah muda, penutup kepala wol dengan warna agak senada, sarung tangan latex merah muda serta sepatu boots hak tinggi. Di balik pakaian itu, aku mengenakan pakaian yang terbuat dari latex yang cukup ketat untuk menghindari keringat yang meresap keluar. Walau ini panas dan menyiksa, aku tetap melakukannya.

Ketika gadis-gadis itu bertanya padaku, "Kenapa kau menggunakan sarung tangan itu?" Maka aku akan menjawab bahwa sarung tangan lainnya tercuci, dan hanya tersisa latex. Ya, mereka cukup berotak dangkal.

Baru kali ini korbanku mengajakku menyesap kopi. Tapi aku sama sekali tidak melakukannya. Mereka tidak memiliki sedotan di rumah. Jadi aku khawatir jika air liurku tertempel di gelas.

"Kau tahu kenapa aku ke sini?" tanyaku pada akhirnya.

Mereka menggeleng. Aku tahu bahwa sebenarnya mereka membenciku. Tapi mereka tidak bisa mengusirku karena ayah mereka akan marah jika mereka berlaku begitu.

"Mencari kucing. Bukankah sudah kukatakan?" Aku menghela napas panjang.

"Besok saja, ya?" Gadis pertama memutar kedua bola matanya.

"Sekarang. Soalnya jika tidak, aku akan mengatakan bahwa kalian merokok." Aku tersenyum sinis.

Mereka berdua saling bertatapan.

"Bagaimana? Aku tidak punya teman untuk mencari kucing itu. Aku khawatir jika ada pembunuh. Kalau bertiga 'kan—"

"Bahkan pembubuh itu menghabisi banyak orang sekaligus." Gadis itu kembali memutar kedua bola matanya.

"Mereka diracun dulu! Kalau kita tidak menerima apa-apa dari orang lain, mustahil jika kita dibunuh."

"Tapi kau janji tidak akan mengadukan pada ayah?"

Aku mengangguk.

"Ke mana kita mencarinya?" tanya mereka.

"Di kawasan pabrik. Di sana banyak tikus. Biasanya memang di sana. Tapi karena ini malam, jadi aku tidak berani sendirian."

"Pabrik apa?"

"Daging sapi itu, lho."

Mereka berdua menghela napas panjang. Setelah itu, mereka bangkit dan meraih jaket mereka. Tanpa berbasa-basi lagi mereka berjalan di depan. Aku meraih tasku yang berisi perlengkapan. Kami pun pergi dengan menutup pintu dengan kasar.

Bukan. Itu buka pabrik. Itu tempat penjagalan. Aku pernah ke sana sesekali. Di sana terdapat pengait-pengait besi yang digunakan untuk mengait daging. Pengait itu diletakkan di bagian yang cukup tinggi. Aku pernah melihat bagaimana sapi-sapi itu dikuliti. Walau aku tidak pernah melihat bagaimana sapinya disembelih, tapi aku melihat bagaimana sapi itu diletakkan di pengait.

Kami perlu menyelinap untuk masuk ke sana. Tempatnya sempit dan dikelilingi pagar serta bangunan-bagunan tua lainnya. Di sanalah aku mulai memimpin. Kakiku gesit melangkah menghindari plastik-plastik yang berserakan. Seteliti mungkin aku harus menghindari lumpur dan rumput supaya tidak ada jejak kaki yang tersisa.

Ketika kami sampai tepat di rumah penjagalan, gadis itu mulai mengeluh mempertanyakan kucingnya.

"Kau yakin dia di sini?" tanya gadis kedua.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang