[11]

157 37 8
                                    

Sudah beberapa hari sejak kematian Sonia dan putranya. Aku kembali ke sekolah. Aku masih agak lega sebab Tristan belum mencapai batas skors yang diberikan padanya. Jadi aku masih bisa berkeliaran di sekolah tanpa takut akan kehadiran Tristan gila.

Walau begitu, masih ada ketakutan lain dalam benakku. Soal pembunuhan Sanaya. Toh, belum pasti jika pelakunya adalah Tristan. Boleh jadi, pelakunya juga ada di sekolahan ini.

Jadi, aku terpaksa mengikuti Marida dan Judith ke mana-mana.

Sepulang sekolah, mereka mengajakku pergi ke pasar malam. Kami berkeliling sembari bergandeng tangan masing-masing.

Netra kami tertuju pada gubuk ramal yang berdiri di antara wahana lainnya.

Hanya 10K, akan kukatakan apa pun yang ingin kauketahui!

Aku tidak pernah percaya dengan ramalan apa pun. Bagiku itu konyol—sama konyolnya dengan asumsi bahwa karakter dan keberuntungan seseorang bisa dilihat dari tanggal lahir dan di rasi bintang apa mereka lahir. Itu merupakan hal yang sangat tidak masuk akal.

"Mau coba?" tanya Judith.

Aku dan Marida menggeleng serentak.

"Oh, ayolah!" Judith mulai mengeluh.

"Apa kau percaya ramalan?" tanyaku.

Judith menggeleng. "Tapi wanita itu bisa katakan apa saja. Jadi, bagaimana jika kita bertanya tentang masa-lalu, atau makanan apa yang kita makan tadi pagi. Jika dia bisa menjawabnya, itu mungkin akan merubah perspektif kita."

Marida terkekeh. "Baik. Tapi uangmu, ya?"

Judith menghela napas. "Ayolah, hanya sepuluh ribu. Berapa uang yang kaubawa?"

"Lebih baik kita ke rumah hantu." Aku memutar kedua bola mataku.

"Baiklah, kalian ke rumah hantu. Biar aku sendiri yang coba!" Judith menaikkan dahi. Dia melepaskan gandengannya dan mulai memasuki gubuk ramal itu.

Kami menunggu selama kurang lebih lima menit.

Judith keluar dengan wajah yang berseri. Dia mengukir senyuman yang tulus. Lantas bersorak di hadapan kami.

"Dia tahu apa yang kumakan tadi pagi." Judith menghela napas. "Jadi, kutanya dia soal keberuntunganku."

"Apa yang dia katakan?" Marida belum antusias.

"Entahlah. Tetapi, dia bilang kalau akan ada hal besar yang terjadi padaku. Kurasa, itu keberuntungan seperti aku mendapatkan pacar yang kaya raya dan tampan." Judith terkekeh.

"Kau percaya?"

"Heh, bahkan dia mampu mengetahui apa yang kumakan tadi pagi dengan detail. Aku memakan puding, roti dan apel. Lalu minum air dan susu. Dia bilang kalau aku lahir di bulan Mei dan itu benar!"

"Tetapi, bagaimana jika 'hal yang besar' itu merupakan sebuah kesialan, bukan keberuntungan?" tanya Marida.

Judith mengangkat bahunya. "Dia tidak mau menjelaskannya karena uangku kurang."

Kami terdiam sejenak. Pada akhirnya, aku menaikkan sebelah alisku dan berfikir bahwa ini adalah hal yang menarik. "Menarik."

"Cobalah, Isabell!" tandas Judith.

Aku menatap ke arah Marida sejenak. Setelah menghela napas panjang, aku mengangguk dan sepakat untuk mengiakannya. Bukan karena aku ingin mencoba mempercayai ramalan. Tapi aku ingin tahu apakah peramal itu benar-benar mampu menebak apa yang kumakan tadi pagi.

Aku masuk ke gubuk ramalan. Di dalam sana, ada seorang wanita setengah baya dengan anting-anting bulat besar, dia mengenakan celak super tebal dan lipstik hitam. Dia menyuruhku duduk. Kuletakkan uang sepuluh ribu ke atas meja di hadapan kami.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang