[25]

110 21 8
                                    

Isabella

Aku terbangun dari tidurku. Dengan segera aku melompat, lantas pergi ke kamar mandi sebelum Natalia menggunakan kamar mandiku. Aku membasuh wajahku sebelum pada akhirnya aku mengguyur tubuhku dengan air dari shower.

Setelah selesai, aku menyiapkan makanan. Aku tidak membuat banyak. Hanya sup. Aku tidak suka roti atau sereal untuk sarapan. Tapi sepertinya Natalia ingin makan dengan roti. Jadi tanpa bertanya, aku membuatkan roti panggang untuknya.

Ternyata gadis itu bangun cukup pagi. Dia tidak banyak bicara. Langsung ke kamar mandi, berganti pakaian dan duduk di meja makan. Walau begitu aku masih melihat kantuk yang tergores di wajahnya.

"Kau jangan membahas tentang apa yang kukatakan tadi malam, oke?" Natalia berkata dengan mulut penuh roti.

Aku menggeleng tidak mengerti.

Sebelum aku sempat menjawab, klakson mobil Avery terdengar dari luar sana. Pria itu mengalihkan perhantianku sesaat. Aku masih ingat apa yang kutemukan di belakang rumahku. Tapi gemetar di tubuhku telah berkurang. Aku tidak ingin bertanya apa pun padanya. Jika dia memang pembunuh, maka biar polisi yang menyelidiki itu. Ketakutan ini biarlah kupendam sendiri.

"Ngomong-ngomong, dia akan mengantar jemput kita?" tanya Natalia.

"Yeah. Sepedaku cukup tua. Jadi sering rusak." Aku menyendok kembali supku.

Avery menyalakan televisi. Secara otomatis saluran menyiarkan berita.

Seorang pria ditemukan sekarat dengan lidah yang terpotong. Diduga, dia merupakan korban dari The Rose Killer.

Dimatikan.

Avery seakan tidak ingin melihat acara berita itu. Tapi aku ingin. Dengan segera aku menyerobot ke arah televisi dan merebut remote dari genggaman Avery, lantas kembali menyalakan televisi.

Natalia ikut ke ruang depan.

Foto seorang pria terpampang jelas di layar. Pria itu berusia akhir tiga puluhan dengan wajah tirus dan cekung. Kedua bola matanya memerah. Bagiku, dia tampak seperti pecandu ganja.

"Justice," bisik Natalia dengan sangat lirih. Tapi aku masih mampu mendengarnya.

"Apa dia mati?" tanyaku pada diri sendiri.

"Kamu tidak bisa baca, ya? Ini 'kan tulisannya sekarat!" Natalia terkikik.

Aku ikut terkikik.

Gadis itu kembali ke meja makan dan menghabiskan sarapannya.

Pemikiranku sudah kacau. Saat melihat tangan yang keluar dari tanah, aku sudah cukup yakin bahwa Avery yang melakukan hal itu. Tapi, apakah dia benar-benar The Rose Killer? Entahlah. Aku tidak paham. Yang pasti, Avery adalah pembunuh dan aku harus menghindarinya (jika bisa).

Namun aku harus memastikan beberapa hal.

"Di mana kau malam ini?" tanyaku dengan menyembunyikan kegugupanku.

"Tidur." Dia menjawab singkat.

Aku hanya manggut-manggut.

Namun sepertinya aku tidak perlu bertanya lagi. Sebab jika aku hanyut dalam percakapan, maka aku akan gemetaran dan menjerit jika sudah panik. Jadi aku memutuskan untuk meninggalkan Avery.

Namun, sebelum aku sempurna meninggalkannya, dia menarik lenganku dengan cepat. "Kenapa lagi?"

Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Aku merasa bahwa aku sedang bersentuhan dengan pembunuh.

Dengan gemetar, aku mengatakan, "Eh... ya... eng... ti-tidak."

"Katakan padaku apa yang terjadi?" Dia semakin serius.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang