[46]

58 16 1
                                    

Isabella

Hari ini aku berdiri di hadapan David. Untuk yang pertama kalinya, aku melihat sebuah kegelisahan dalam wajahnya. Aku tidak bermaksud membuatnya khawatir. Aku tahu dia menyukaiku... bahkan mungkin mencintaiku. Tapi sejujurnya, aku sendiri tidak pernah memiliki perasaan seperti itu. Aku hanya terobsesi.

Terobsesi.

Jika seseorang bilang bahwa aku mencintai seseorang, maka itu merupakan sebuah kesalahan. Aku hanya terobsesi. Rasanya seperti aku ingin memiliki orang itu seutuhnya, membelenggunya selamanya dan tidak membiarkan siapa pun merenggutnya. Tapi aku tidak mencintai. Aku hanyalah orang sakit.

Ketika aku pacaran dengan Tristan, aku hanya tertarik pada pesonanya dan bagaimana dia mengelola laboratorium kimia dan fisika secara bersamaan. Tidak pernah ada degup jantung yang berderu ketika aku berada di dekatnya. Aku hanya ingin si pengelola laboratorium ini menjadi bagian dariku selama-lamanya. Dan dia tidak mengerti itu. Dia malah menganggapku menyukainya. Hingga dengan terpaksa aku menerima cintanya karena aku tidak ingin kehilangan orang seperti dia.

Hal tersebut juga kurasakan pada Avery, kini menjalar ke David juga.

Entahlah, intinya, aku hanya ingin mengoleksi orang-orang yang berharga dalam hidupku tanpa boleh direnggut oleh siapa pun.

Suatu hari, Tristan marah padaku karena mengira bahwa aku tidak pernah mencintainya. Dan aku menjawabnya.

"Itu benar. Aku tidak mencintaimu," jawabku.

Dia ternganga.

"Aku hanya ingin kamu ada di sisiku," sambungku.

"Dasar orang sakit!" Dia mengepalkan jemarinya.

Tristan bilang bahwa aku adalah orang sakit, dan aku mulai merasakan bahwa perkataannya adalah realitas.

Ketika SMA, aku bertemu orang-orang seperti Marida dan Judith. Orang-orang ini memiliki jalan pemikiran dan kriteria yang berbanding terbalik denganku. Semuanya sama, hanya aku yang berbeda. Pada akhirnya aku benar-benar paham dan meyakini bahwa aku adalah orang sakit.

Namun sampai saat ini, aku ingin membuang jauh-jauh pemikiran dan obsesi sakitku itu. Sebab aku selalu bermimpi bahwa kepingan-kepingan tubuhku mulai terbang dan menghilang. Sepertinya, hal ini sudah harus diakhiri.

Avery—bahkan David—tidak layak kubelenggu.

"Aku minta maaf karena telah meloreh luka padamu selama ini. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya sakit," kataku pada David setelah sekian lama termenung.

David berjalan ke arahku. Dia menyilakan rambut-rambutku yang tidak teratur diterpa angin.

"Apa kau mencintaiku?" tanyanya.

"Tidak," balasku. "Hanya saja aku tidak ingin kehilanganmu."

"Jika begitu, artinya kau mencintai!"

"Tidak. Aku hanya ingin seseorang yang menemaniku."

Ya, tidak ingin kehilangan mereka karena aku kesepian selama ini.

David tersenyum getir. "Kalau begitu, aku akan menemanimu selamanya."

Aku kembali merangkulnya—melingkarkan kedua lenganku ke punggungnya dan dia membenamkan kepalaku di lehernya, sementara pelukannya juga menyentuh punggungku.

David hangat. Dia mirip seperti Avery. Tapi aroma tubuhnya tidak sama seperti Avery. Pada akhirnya aku tersadar, mereka berdua bukanlah orang yang sama dan tidak akan menjadi orang yang sama.

"Ehem..." Sentakan petugas polisi itu—Nico—membuat kami melepaskan pelukan kami.

David tersenyum canggung ke arahnya. Aku yang agak gemetar karena Nico pernah membentakku saat interogasi langsung bersembunyi di belakang tubuh David.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang