[22]

121 25 6
                                    

Aku membuka mataku perlahan ketika jam bekerku menampiklan pukul setengah lima pagi. Dengan cepat aku mematikannya, lantas kembali ke posisi ternyamanku. Aku menggeliat di balik selimutku.

Aku merasa bahwa aku bermimpi buruk.

Apa yang terjadi semalam?

Setelah mengingatnya, aku segera membelalakkan kedua bola mataku. Aku beranjak dari tempat tidur dengan napas yang terengah-engah. Aku menuju ke ruang tengah.

Kosong. Tidak ada apa pun di sana selain perabot yang berantakan. Tidak ada darah, tidak ada kapak dan tidak ada Avery.

Apakah betul tadi malam itu mimpi? Tapi kenapa terasa sangat nyata? Bahkan aku bisa merasakan rasa sakit ketika aku menggigit tanganku. Bahkan aku bisa merasakan sesak napas ketika Avery membekapku dengan tangannya yang berlumuran darah.

Aku pun menghadap ke cermin. Aku bersih. Tidak ada darah yang menempel di wajahku. Aku pun mengenakan gaun tidurku yang bersih dan harum.

Aku termenung sejenak. Kadang aku berfikir, sejauh mana kegilaanku? Apakah aku sudah mulai berhalusinasi seperti orang yang dirawat di rumah sakit jiwa? Tapi bukankah kata Avery aku hanya memiliki gangguan kecemasan?

Namun memikirkan hal ini malah membuatku menapaki tangga kegilaan.

xxxx

Semuanya berjalan normal. Avery datang pukul enam tepat. Dia bersikap biasa-biasa saja, mengulik makanan di kulkasku dan makan di ruang depan. Aku ingin bertanya banyak hal padanya, tapi aku tidak ingin dianggap gila. Jadi aku memutuskan untuk menyembunyikan segala kerunyaman dalam benakku.

Setelah aku sarapan, aku pergi ke kamar mandi untuk membenarkan riasan. Avery sudah memekik di luar rumah—menyuruhku untuk cepat. Aku pun menghela napas panjang, lantas segera pergi dari kamar mandi, membanting pintu dan menguncinya.

Avery sudah berada di mobil. Aku duduk di jok sampingnya. Tiba-tiba tubuhku merasa gemetar. Aku tidak tahu apakah kejadian tadi malam itu nyata atau tidak, walau begitu, aku merasa gementar. Aku gemetaran di samping Avery. Aku merasa bahwa aku sedang duduk di samping pembunuh berdarah dingin.

Aku menatapnya dengan membulatkan kedua bola mataku. Dia pun menatapku setelah menyadari kalau aku memperhatikannya.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku hanya bisa ternganga. Bayangan Avery yang berlumuran darah dan membawa kapak kembali merasuk dalam benakku. Aku pun segera menggelengkan kepalaku dan menutup kedua bola mataku dengan erat.

"Apa kau merasa pusing?" tanyanya lagi. "Tidak ingin sekolah?"

Aku membuka kedua bola mataku. Rasa takut itu semakin menjalar di tubuhku. Dengan gemetar yang teramat sangat, aku mencoba untuk menggeleng—mengisyaratkan bahwa aku tidak apa-apa.

"Apa yang kaupikirkan? Apa kau tidak sehat? Kau sakit? Kau kurang makan? Apa kau lupa mematikan kipas angin di kamarmu hingga bibirmu pucat? Kau belum mengerjakan tugas matematika? Ada seseorang yang menakutimu dengan hewan melata?" Dia mencerocos seperti wanita tua.

"A-a-aku... aku... um... mi-mimpi bu-buruk." Aku menjawab dengan terbata-bata.

Avery menghela napas panjang. "Mimpi soal apa sehingga membuatmu seperti ini?"

"Aku... itu... "Aku menghirup udara sejenak. Yah, baiklah. Aku akan mengatakan segalanya. "Aku bermimpi kau penuh darah dan memegang kapak."

Avery mengernyit, lalu terkekeh setelahnya. "Aku? Yang benar saja?!"

"Aku bukan ingin mengatakan kau membunuh, tapi kau berdarah-darah. Dan darah itu berserakan di lantai dan, dan kau membawa kapak, lalu kau menyumpal mulutku dan... dan itu... kau bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja, kau-kau tidak apa-apa, kau... kau tidak melakukannya, 'kan?"

Avery mengatupkan bibir.

"Aku merasa sudah gila! Itu sangat nyata. Bahkan aku bisa mencium aroma anyir dan aku bisa merasakan aku menggeliat ketika kau membekapku dan aku bisa merasakan darah mengalir dari tanganmu membasahi pipiku dan itu—"

"Aku tidak melakukan apa pun. Kau bermimpi."

Aku menggetarkan daguku. Tangisku hampir pecah di sana. Bukannya aku takut pada Avery, tapi aku merasa bahwa aku menapaki satu tangga kegilaan. Mungkin, gangguan kecemasanku sudah meluber ke mana-mana dan membuat aku memiliki ribuan penyakit psikis.

"Aku gila?" Aku berkata dengan gemetar.

Avery menggeleng. "Kau waras. Bahkan sangat waras, Isabell."

Kedua bola mataku mulai memerah dan basah. Rasanya sebentar lagi aku akan berada di rumah sakit jiwa.

"Tenanglah. Semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang terjadi. Semuanya hanya mimpi buruk," kata Avery dengan penuh perhatian. Dia pun mengelus rambutku perlahan. Walau begitu, gemetarku tak kunjung mereda. Sepertinya, dia tahu apa yang perlu dia lakukan saat ini; menaruh kepalaku dalam dekapannya. Itu merupakan cara paling efektif untuk mengusir kegelisahanku. Jadi dia melakukannya. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang berderu kencang.

Aku merasa nyaman sejenak. Gemetarku perlahan menghilang. Aku menaruh sebelah tanganku di atas dadanya, lantas memejamkan mata barang sejenak. Walau begitu, aku masih bisa menghirup dengan jelas... ini bau darah.

xxxx

Aku memutar penaku. Kerunyamanku tadi sudah cukup memudar ketika aku sampai di sekolahan dan melihat wajah bodoh Marida dan Judith. Apalagi aku disambut dengan Natalia yang masih setengah teler dan salah menggunakan seragam. Semua bebanku sepertinya pudar sesaat.

Ngomong-ngomong soal Natalia, aku tidak tahu kenapa belakangan ini dia pergi ke sekolahan dengan kondisi kurang waras begitu. Tapi aku cukup yakin bahwa dia memiliki masalah yang serius.

Aku mulai berkutat dengan soal-soal matematika yang ada di buku. Aku tidak tahu kenapa Avery tiba-tiba izin keluar kelas dan meninggalkan kami bersama dengan soal-soal yang memusingkan ini.

Aku melirik ke Marida dan Judith, mereka menggeleng sembari memasang wajah bodoh mereka. Hal itu menandakan bahwa mereka juga tidak tahu apa-apa.

Aku pun melirik ke arah David secara tiba-tiba. Dia juga tengah menatapku sembari menggigiti penanya. Oh, kenapa aku harus meliriknya? Mungkin David cerdas di mata pelajaran Bahasa dan Seni Budaya, tapi aku tahu bahwa nilai matematikanya merah. Yah, kupikir bukan karena bodoh. Tapi dia tidak suka diajari oleh Avery. Benci gurunya, benci pula mata pelajarannya.

"Beri aku contekkan," bisiknya. "Nomor satu sampai duapuluh sudah belum?"

Aku menggeleng. "Baru nomor satu sampai tiga."

"Mana?"

"Ke sini!"

Dia pun beranjak sembari membawa buku tugas serta pena. Dengan cepat dia telah berdiri di hadapanku dan meraih buku tugasku. Dia tidak mengatakan apa pun, langsung menyalin jawabannya begitu saja.

"Soal ini susah sekali. Aku butuh aspirin untuk menyelesaikan satu nomor saja." Dia menggerutu pada akhirnya.

Aku tersenyum getir.

"Ngomong-ngomong, apa kau mengenal seorang bernama Norman?" Tiba-tiba David mengalihkan pembicaraan. Dia menatapku dengan serius.

Aku ternganga sejenak dan mengingat. Norman... Norman... Ah, aku sepertinya tidak pernah mengenal siapa pun bernama Norman. Jadi aku menggeleng.

David menggigit bibir bawahnya. "Kau yakin?"

"Yeah, memangnya kenapa?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Tidak. Hanya saja—"

"Eh, Pak Avery dateng cepat kembali ke tempat duduk!" Seorang anak lelaki tergesa-gesa masuk ke kelas.

David pun sama. Dia segera berlari ke tempat duduknya tanpa mengatakan apa pun.

Aku menoleh ke arahnya sejenak. Dia hanya memasang senyum ke arahku dan melambai tangan.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang