[23]

122 22 6
                                    

Aku sampai di rumah ketika pukul empat kurang lima belas. Avery langsung pergi karena dia memiliki urusan. Aku pun langsung membenamkan tubuhku di atas sofa. Hariku mulai membosankan. Pagi-pagi kesepian sendirian, berangkat sekolah lantas pulang, kemudian terbaring di depan televisi sampai terlelap. Kadang aku berfikir, kapan hidupku akan berubah?

Aku berdecak sebal.

Seseorang mengetuk pintuku—walau aku sudah meminta Avery memasang bel. Aku pun meliriknya.

Seorang gadis menguap tepat di depan pintu. Sepatu hak tingginya hampir jebol. Dia tampak menyedihkan dengan rambut yang acak-acakan dan pemulas bibir yang belepotan.

"Natalia," panggilku.

Dia pun tergesa-gesa masuk. Gadis itu mengerang dan berpura-pura menangis—membenamkan kepalanya di salah satu bantal di sofa.

"Ada apa?" Aku menekuk dahi karena keheranan.

"Biarkan aku menginap. Aku mohon padamu. Aku diusir dari rumah." Dia memelas. "Kau tinggal sendirian, 'kan? Walau kita tidak dekat, aku tahu kau adalah gadis baik yang mau memberi gelandangan ini tumpangan selama dua tiga hari."

"Eh... kenapa?"

"Aku dimarahi ayahku."

"Kenapa?"

"Aku menjual salah satu mobilnya untuk membeli beer."

Aku hampir tertawa terbahak-bahak. Tapi aku langsung menyumpal mulutku sendiri. Aku menghela napas panjang dan mengelus rambutnya yang lepek dan kusut itu. Tangisan palsu gadis itu semakin menjadi-jadi dan aku tahu dia berharap supaya aku menerimanya dengan suka-rela.

"Baik, baik. Kau bisa di sini selama beberapa waktu sampai amarah ayahmu mereda," kataku pada akhirnya.

Dia langsung mendongak. "Benarkah? Terima-kasih bidadariku! Aku akan melakukan apa pun untukmu mulai sekarang. Apa pun." Dia terlonjak dan memeluk erat tubuhku.

Secara tiba-tiba, Avery masuk ke rumahku tanpa permisi. Aku terlonjak dan melepaskan pelukan Natalia. Natalia memutar kedua bola matanya dengan sebal.

"Kenapa guru matematika ini di sini? Apa dia ayahmu?" tanya Natalia.

Aku menggeleng. "Kerabat. Anggap saja begitu."

Avery membawa beberapa sayuran dalam plastik. Tanpa berbasa-basi, dia menuju dapur dan meletakkan sayuran-sayuran itu ke kulkas.

"Jadi kerabatmu ini sering ke sini ya?" Bibir cerewet Natalia tidak berhenti bertanya.

"Sebenarnya, aku bukan kerabat." Avery berterus-terang dari arah dapur.

"Jadi apa? Pembantu rumah tangga?"

Aku menjitak kepala Natalia.

"Habisnya dia bawa-bawa sayur." Natalia terkekeh. "Tolong buatkan aku teh. Kalau ada, ambilkan biskuit. Oke?"

Aku menyikut Natalia. "Natalia, dia guru kita!" Aku mengatakan itu supaya Natalia tidak memperlakukan Avery seperti pembantu rumah tangga. Walau aku sering memperlakukan Avery dengan cara seperti itu, rasanya aneh jika melihat orang lain yang melakukannya.

Natalia pun berdecak sebal. Dia merebahkan tubuhnya di sofa yang panjang. "Aku akan tidur sejenak. Kalau tidak keberatan, bangunkan aku jam enam untuk mandi. Oke?"

Aku hanya manggut-manggut.

Setelah gadis itu sempurna memejamkan matanya, Avery melambaikan tangan ke arahku. Aku pun segera mendatanginya.

"Apa-apaan ini? Kau membiarkan anak ini menginap?" Dia berbisik tapi menekan kalimatnya.

"Aku kasihan padanya. Dia diusir ayahnya karena menjual mobil untuk membeli beer," bisikku.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang