Aku berlari tanpa arah. Sekali lagi kujelaskan, area di sepanjang rumahku cukup sepi. Masing-masing rumah berjarak berpuluh-puluh meter, sisanya lahan kosong yang dipenuhi ilalang.
Aku menjerit di jalanan seperti orang gila yang kesetanan. Kakiku terluka karena kerikil-kerikil yang tajam. Tangisku tidak hanya pecah karena perlakukan Avery padaku. Tapi aku juga kembali mengingat bahwa aku tidak memiliki siapa pun. Tidak ada ibu, tidak ada ayah, tidak ada keluarga, tidak ada kerabat. Aku hidup seolah tanpa tujuan. Avery menegaskan bahwa dia akan selalu ada. Tapi dia melukaiku. Darah yang mengalir dari hidungku ini adalah saksi betapa menjijikkannya dia.
Aku berhenti dengan napas yang terengah-engah. Aku menangis tak karuhan. Telapak kakiku terluka dan lecet, peluh bercucuran di pelipisku, dan darah yang mengalir segar dari hidungku—semuanya merunyamkan keadaan.
Kurasakan hadirnya seseorang di sana. Aku pun menoleh secara refleks.
Avery? Bukan, itu Tristan.
Tristan gila dengan snelli khas dokter serta masker yang menempel di wajahnya. Aku pun menelan salivaku. Aku lupa bahwa aku tidak bisa keluar sendirian mengingat aku masih diincar oleh Tristan.
Aku pun mundur perlahan. Tapi Tristan mengikutiku. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu di balik jas putihnya itu.
Satu, dua, tiga...
Aku pun berlari tebirit-birit. Tapi sekali lagi, Tristan mengejarku. Aku pun memekik meminta tolong. Tapi agaknya tidak ada yang mendengar itu. Aku tidak bisa memutar arah untuk kembali ke rumah. Tristan akan menyergapku jika aku melakukannya. Jadi kuputuskan untuk berlari tanpa tujuan dan mencari tempat yang aman untuk berlindung.
Aku berlari tanpa arah.
Tanpa kusadari, aku menyeberang jalan. Aku tidak memastikan apakah ada kendaraan yang melintas. Aku hanya ingin pergi dari seseorang seperti Tristan.
Sebuah mobil sedan putih tanpa permisi melintas. Benda itu menghantam tubuhku dengan keras.
Lalu semuanya gelap.
oOo
"Awalnya, kami mencurigai beberapa orang. Tapi kini berkurang satu, sebab salah satunya tewas. Kinara Brignette." Nico menghisap rokoknya, lantas mengeluarkan asap dari mulutnya. "Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Isabella Louise? Kau diam-diam menyelidikinya, 'kan?"
David mengangguk tipis.
"Gadis itu tidak terlalu mencurigakan. Tapi parfum yang disebar di TKP sama dengan parfum yang biasa dia gunakan, betul?" Nico memastikan.
"Benar," jawab David. "Tapi setelah kupikir lagi, itu alasan yang cukup konyol. Maksudku... mencurigai orang karena dia memiliki aroma yang sama dengan TKP pembunuhan? Itu—"
"Kau yang menyuarakan asumsi itu pertama kali," sahut Nico.
"Tapi sepertinya, kalian harus mencoret dia dari daftar tersangka."
"Kau sudah menemukan 'sesuatu' yang mematahkan asumsi awalmu?"
"Ya." David tersenyum getir. "Di malam pembunuhan kedua, dia bersamaku."
"Kau yakin?"
"Kami terlelap di sofa yang sama. Sofa itu sempit. Aku berada di pinggir. Jika dia turun, harusnya aku bisa merasakannya." David berhenti sejenak. "Tapi dia masih berada di posisi yang sama sampai pukul setengah delapan, kami bangun bersamaan."
Nico menggetarkan dagunya dan tersenyum.
"Apaan sih?" David berdecak sebal.
Nico menggeleng. "Lagipula, alasan untuk mencurigainya cukup konyol. Parfum seperti itu pasti dijual bebas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...