[47]

62 14 2
                                    

Aku bisa bernapas lega ketika David mengiakan kalau memo itu hanyalah permainan konyol yang kulakukan saat tidak ada pekerjaan dengan Natalia. Walau aku tahu David agak curiga, tapi dia tetap berusaha untuk mempercayaiku.

Aku tetap berada di rumahnya sampai pagi. Kami bangun dengan botol-botol wine yang telah kosong dan camilan-caliman yang tersisa remahannya saja. Layar televisi masih menyala dan gromofon tua di ujung ruangan masih menyetel musik klasik. Walau kepalaku pening, aku memutuskan untuk segera pulang sebelum ayah David kembali dari lemburnya.

David pun mengantarku karena dia khawatir soal kota kami yang diteror pembunuh berantai. Tapi setelah sampai di rumah, dia memutuskan untuk tidak mampir karena harus merapikan bekas-bekas pesta kecil-kecilan semalam.

Jam dinding di rumahku menunjukkan pukul enam lebih lima belas. Natalia belum bangun. Aku memgambil kunci dari sakuku. Ngomong-ngomong, kunci rumah telah diduplikat. Aku menyerahkan yang satunya pada Natalia.

Aku tidak ingin mencuci muka akau pergi ke kamar mandi dulu. Aku langsung pergi ke kamarku dan menuju rak-rak buku di samping jendela. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan buku "Mimpi Orang Sinting" yang ditulis lebih dari seratus tahun lalu oleh Dostoyevsky.

Aku menggeledah masing-masing halaman dari buku itu. Dan benar saja, catatan itu terselip di antara lembaran-lembaran yang telah menguning.

Info penting!

Begitulah yang ada di lipatan pertama kertas itu. Seseorang menulisnya dengan tulisan acak-acakan dan seakan tidak bisa terbaca. Aku menekuk dahi. Sepertinya, tulisan seperti ini memanglah tidak asing.

Dengan gemetar, aku membuka kertas yang terlipat itu.

"Kerannya mati," kata Natalia yang tiba-tiba berada di depan ambanh pintu kamarku.

Aku langsung melipat kertas itu dan menaruhnya ke tempat semula, lantas mengembalikan buku itu di antara buku-buku lainnya. Dengan segera aku melupakannya dan memperbaiki keran air yang mampet itu.

xxxxxxx

Jam istirahat telah berlalu, tapi aku masih berkutat dengan angka-angka di papan tulis. Semenjak kepergian Avery, aku guru matematika kami digantikan oleh wanita setengah baya dengan kaca mata berbentuk hati. Wanita itu galak—kelewat galak malah. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba membenciku dengan mengejek kalau aku ini bodoh. Padahal, di kelas aku mampu mendapatkan peringkat lima besar. Hari ini secara tidak sengaja aku tidak membawa buku tugas, jadi dia menghukumku dengan mencatat lima kali.

Hari ini, aku berjanji akan langsung menyelesaikan catatan itu dan melemparnya ke wajah nenek sihir itu.

Walau netra dan tanganku fokus mencatat, aku masih bisa mendengar bisik-bisik yang dilontarkan oleh teman-temanku.

"Nah, dengar, Eldmar Martin bilang kalau dia menemukan petunjuk yang sangat penting!" kata seorang gadis.

"Sungguh, apa? Aku tidak masuk grup itu hingga aku telat informasi," sahut gadis yang lainnya.

"Entahlah, dia belum menjelaskannya. Tapi katanya, dengan petunjuk itu dia akan segera menemukan pelakunya."

"Ahahaha." Aku terkekeh. Gadis-gadis itu segera menoleh ke arahku. "Kuakui Eldmar pintar, tapi apakah kalian percaya bahwa dia lebih pintar dari para polisi dan penyidik?"

Mereka bergeming.

"Jika dia menemukan suatu petunjuk, apa itu? Apakah itu hanya spekulasi belaka atau sebuah benda?" tanyaku.

"Katanya sih benda."

Aku membelalak.

"Dan dia tidak menyerahkannya pada polisi?" Aku menekuk dahi.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang