Isabella
Semuanya telah berlalu cukup lama. Poster wajah Pak Gavin yang dinyatakan hilang telah menguning dan mengelupas dari berbagai tempat. Berterbangan ke sana-kemari sampai mendarat di bawah kakiku. Aku meraihnya. Wajah pria tua tukang racun kucing itu kini berada di genggamanku. Aku cukup paham bahwa kini dia telah menjadi tengkorak di belakang rumahku. Avery membunuhnya dan sampai sekarang aku tidak mengerti alasannya.
Pagi ini aku merasa bahwa aku tidak baik-baik saja. Tubuhku terasa sangat lelah walau aku hampir tidak pernah keluar rumah selain saat pergi ke sekolah atau mampir ke minimarket. Ternyata, kehidupanku tanpa Avery berjalan normal-normal saja. Walau dengan terpaksa uang-uang untuk kehidupanku mengalir ke ayahku sebelum kugunakan. Aku cukup khawatir jika istri barunya yang jalang secara tiba-tiba mengambil semuanya. Dia sudah mengambil ayahku. Dan itu sudah cukup.
Sejak Josefa Claire ditemukan tewas, Bu Chery tidak lagi pergi ke sekolahan. Dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan melakukan freelance. Dia ingin punya lebih banyak waktu untuk menguak siapa pembunuh adiknya. Yang kudengar, dia menjelajahi setiap tempat dan mewawancarai setiap orang. Dia memang menjadi menyedihkan. Tapi hal bagusnya; dia tidak bersama Avery.
Namun jika tahu pada akhirnya dia akan keluar dari sekolah, aku tidak perlu mengungkapkan kejahatan Avery. Tapi... ah, persetanlah. Pokoknya, mereka sudah tidak bisa menghabiskan waktu bersama lagi.
Aku merasa bahwa The Rose Killer seakan membantu kehidupanku.
Awalnya aku membenci pembunuh berantai itu. Tapi setelah kurenungkan, aku menjadi penasaran atas apa motifnya yang sesungguhnya. Dilihat dari bagaimana kejamnya dia, aku cukup paham bahwa dia sangat sangat terluka. Rasanya, aku ingin melihat wajahnya, menyapanya dan berbincang dengannya.
Aku di sini, di makam ini. Burung gagak bertengger di ranting pohon beringin kering yang terletak di tengah makam-makam. Suasana senja terasa kental. Semburat cahaya mentari yang hampir sempurna tenggelam menyisakan rona jingga di atas langit. Burung-burung berterbangan membentuk siluet hitam di antara warna jingga. Angin-angin kecil menyentuh rambut bergelombangku dengan kencang hingga rambut-rambut itu terlontar ke sana-kemari.
Hari ini, langkahku kembali kepada Tristan. Pemuda itu tewas dengan banyak luka tusukan di sekujur tubuhnya dan kepalanya terbentur benda tumpul. Dia harus berakhir dengan mengenaskan di tangan Avery. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Tristan menghabiskan detik-detik terakhirnya. Bagaimana juga dia menutup kedua bola matanya. Apakah dia bahagia atas kehidupan yang selama ini diberikan padanya? Atau malah sebaliknya?
Aku memberi bunga kesukaan Tristan; tulip putih. Aku masih ingat, Tristan pernah mengatakan bahwa dia menyukai berbagai bunga, tapi hanya tulip putih yang membuatnya jatuh cinta. Aku juga ingat kalau dia ingin pergi ke Keukenhof Garden. Kupikir, impiannya itu tidak pernah terwujud sampai saat ini. Tapi aku salah. Tristan sudah pergi ke sana sebelum kematiannya. Saat Sanaya dibunuh, dia baru saja kembali ke sekolah karena perjalanannya dari Belanda.
Aku mengelus nisan atas nama Tristan Kiehl itu. Dia masih belum genap berusia delapan belas tahun. Menang terlalu muda. Harusnya dia bersekolah tidak terlalu cepat. Tapi kecerdasan Tristan selalu membuat orang lain kagum. Dia pergi ke taman kanak-kanak satu tahun lebih muda daripada yang lainnya.
"Tidurlah yang nyenyak, Sayang," bisikku di nisan itu. Setelah itu, aku mencium nisan itu lantas berdiri. Saat aku membalikkan tubuhku, aku melihat David. Dia berdiri di belakangku dari tadi. Mungkin mendengar bisikan-bisikan yang kulontarkan pada Tristan.
Darahku terasa beku. David menatapku dengan tatapan yang tidak aku mengerti.
"Sayang?" Dia mengernyit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...