Isabella
Aku menatap fotoku dengan Avery saat usiaku empat belas tahun. Avery terlihat lebih muda dari hari ini. Saat itu, usianya dua puluh lima. Dia mengenakan sebuah topi ulang tahun dan hidungnya di cat dengan warna merah seperti badut. Aku duduk dengan memeluk sebuah boneka porselen putih pucat dengan gaun merah maroon.
Aku menengadah sesaat. Suasana modern di rumah ini cukup kental. Berbeda dengan rumahku yang klasik dan terkesan menyeramkan. Avery lebih memilih tinggal di rumah minimalis dengan arsitektur sederhana.
Rumah ini terletak di kompleks perumahan. Bentuk masing-masing rumah berbeda. Walau begitu, kurasa semua halaman rumah di tempat ini sempit. Beberapa ada yang tertutup. Jalanan depan lumayan lebar. Tapi jarang dilewati oleh kendaraan-kendaraan besar. Hanya ada anjing dengan ikatan terlepas yang mondar-mandir ke sana-kemari.
Avery juga keluar masuk rumahku tanpa izin. Jadi aku melakukan hal yang sama. Walau Avery melarangku, tapi aku diam-diam menduplikat kunci rumahnya. Hari ini, aku kembali masuk secara diam-diam.
Aku berdiri di ruang depan sembari menatap jendela. Tidak kusangka Avery masih memasang foto-foto kami di dinding. Dan... foto wanita lain. Agaknya, dia memasang semua foto dari orang-orang yang menurutnya berharga. Termasuk Bu Chery. Melihat itu membuat aku merasakan sesuatu dalam benakku. Sesuatu yang tidak enak dan tidak dapat kujelaskan dengan kata-kata. Yang pasti, perasaan itu terasa seperti amarah yang dicampur dengan luka.
Namun dengan segera aku melupakannya.
Tujuanku datang ke sini adalah untuk mencari sesuatu. Aku khawatir jika Avery adalah The Rose Killer. Apalagi aku pernah melihatnya berdarah-darah. Dan masalah tangan di belakang rumah, siapa lagi yang melakukannya jika bukan Avery?
Aku tidak mungkin bertanya pada Avery tentang hal itu. Jadi, aku memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Jika memang benar The Rose Killer adalah Avery, maka aku akan melapor. Walau aku akan kehilangan dia karena hal itu, tapi itu merupakan pilihan yang baik. Aku tidak ingin ada dalam dekapan seorang pembunuh. Aku tidak ingin terseret dengan masalah.
Aku pun berjalan ke belakang setelah sekian lama melamun.
Rumah Avery berbeda dengan rumah pria lanjang pada umumnya. Tidak ada hal yang menjijikkan di sini. Tempat ini juga tidak berantakan. Semuanya tertata rapi dan bersih. Bahkan, rumah ini lebih rapi dari rumahku.
Aku masuk ke dapur, lantas menelusuri kamar mandi. Aku membuka tirai shower dan bak mandi. Tidak ada apa pun yang aneh di sana. Padahal biasanya pembunuh meletakkan mayatnya di kamar mandi. Ngomong-ngomong, aku juga sudah memeriksa belakang rumahku. Tidak ada bekas galian lain di sana. Dan di luar rumah Avery juga tidak ada bekas galian. Jadi aku merasa bahwa Avery menyembunyikan dia.
Siapa lagi jika bukan tubuh Tristan?
Anak lelaki itu datang ke rumahku beberapa hari lalu. Dia menyeretku dan hendak membunuhku. Lalu tiba-tiba dia dinyatakan menghilang. Aku ingat, dahulu Tristan juga pernah menyelinap masuk ke rumahku. Dia juga menghilang setelah itu dan tiba-tiba ada Avery di belakangku. Jadi kupikir saat itu Avery melakukan perhitungan pada Tristan. Saat ini Tristan sudah menyelinap dua kali dan sepertinya perhitungan yang dibuat Avery sudah habis. Kini dia pasti melakukan sesuatu pada Tristan.
Aku pun beranjak ke mesin cuci. Di sampingnya ada sebuah keranjang pakaian kotor. Aku mengulik satu-persatu pakaian itu.
Tanganku berhenti karena menemukan sesuatu; sebuah kemeja putih dengan sebuah cairan merah yang sudah mengering. Cairan itu seakan menyiprat. Jumlahnya cukup banyak. Aku menghirupnya sebentar.
Mataku langsung membelalak. Ini bau darah!
Aku pun mengembalikan pakaian itu ke tempatnya. Lalu di saat yang bersamaan, aku menemukan sarung tangan latex dengan noda yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...