[53]

58 14 1
                                    

Isabella

Aku mematung di depan pintu ruang persalinan. Entah kenapa, aku merasa berbeda. Aku merasa bahwa kali ini aku akan kehilangan lagi. Walau ribuan kali aku berdoa supaya ini hanyalah kecemasan belaka, tapi benakku tetap menolak untuk mengakui itu.

Aku menggigiti kukuku hingga berdarah. Untuk meredakan kecemasan ini, aku berusaha mondar-mandir di koridor. Aku melirik arlojiku. Sudah sekitar satu setengah jam aku di rumah sakit dan menunggu Natalia melahirkan.

Aku tidak tahu persis apa yang terjadi. Tiba-tiba dia mengeluh dan aku memesankan sebuah taksi untuk membawa kami ke rumah sakit. Aku meminta ayahku untuk datang sebagai wali Natalia—mengingat kami masih terlalu muda untuk mengurus ini semua. Beliau mengiakannya. Tapi posisinya masih ada di luar kota. Mungkin tengah malam nanti baru sampai.

Aku pun meraih botol mineral dari ranselku dan menenggak air itu.

Pikiranku mulai runyam.

Dalam sekejap mata, Natalia telah menjadi bagian dari hidupku. Walau gadis itu seringkali merepotkanku dan membuatku kesusahan, tapi aku merasa bahwa dia adalah saudariku yang menghilang. Dia diasingkan oleh keluarganya, dan sama-sama sebatang kara sepertiku. Jadi, apa salahnya jika aku menganggapnya sebagai saudari?

Aku tidak memiliki siapa pun. Aku merasa kesepian. Kehadiran Natalia mengubah hidup hampaku. Aku tidak pernah tahu bagaimana aku bisa tinggal di rumah tua itu sendirian sejak kepergian Avery. Intinya, Natalia membawa kembali warna yang telah memudar dalam hidupku.

Setelah menunggu cukup lama, pintu ruangan terbuka. Seorang wanita dengan snelli putih keluar dan membuka maskernya.

"Bagaimana kondisinya? Apakah dia baik-baik saja? Anaknya lelaki atau perempuan?" Kedua bola mataku berbinar sembari menunggu jawaban yang memuaskan dari dokter itu.

Dokter itu tersenyum getir. Dia menghela napas berat dan berkata, "Anak itu lelaki."

Aku benapas lega. Kusandarkan tubuhku di dinding dan terkikik. Ternyata firasatku hanyalah kecemasan belaka.

"Tapi..." Kalimat dokter itu menggantung di udara sejenak.

Aku menoleh.

"Dia ingin berbicara denganmu," sambung dokter itu.

Jantungku yang mulai tenang kembali berdegup kencang. Aku mengikuti dokter itu melangkah ke dalam ruangan. Aku melihat seorang perawat yang menangani bayi lelaki gemuk yang tengah menangis. Sedangkan Natalia hanya berbaring di posisinya sembari menatapku dengan kedua bola matanya yang sayu.

Aku mendekat ke arah gadis itu.

"Kau berhasil, Natalia. Kau sudah menjadi seorang ibu. Kini rumah kita akan disesaki oleh mainan-mainan dan perlengkapan bayi. Aku akan membelikannya. Jadi, siapa namanya? Biar aku bisa memanggilnya saat ini." Aku mencoba tersenyum pada gadis itu. Aku tahu kondisinya parah. Tapi aku tidak ingin menganggap ini hal yang fatal. Walau dalam benakku berkecamuk kekhawatiran, aku tetap berusaha untuk berfikir positif.

"Raphael. Nama yang indah, 'kan?" Dia tersenyum dengan bibirnya yang pucat.

Aku mengangguk.

"Tolong jaga dia, ya?" pinta Natalia.

Perasaan seperti ini... kenapa kembali lagi?

"Ibu dan ayahku akan senang jika mereka memiliki cucu lelaki. Ibuku pasti akan senang menggendongnya. Bisakah kau mempertemukannya pada ibuku?"

"Kita akan mempertemukannya," jawabku.

"Entahlah, Isabella. Aku merasa bahwa aku sudah mengalami banyak hal. Itu sudah cukup."

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang