"Biarkan aku bertemu dengan Isabell, jika begitu..." David menghentikan kalimatnya karena menahan isakan.
Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dia. Dia sangat mencintai Isabell dan selalu ingin bersama dengan Isabell. Tapi aku berada di sini untuk merenggut keinginannya itu.
"Aku tidak bisa melakukannya," jawabku.
"Kenapa?" Dia balik bertanya.
"Karena... aku tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya."
Andai aku dan Isabell berbeda tubuh, mungkin David akan lebih rentan terkena emosi dan langsung mendorongku saja karena geram. Hanya saja, dia mencintai Isabell. Membunuhku sama saja dengan membunuh Isabell.
"Dengarkan aku, jika kau tidak mau hidup, maka biarlah Isabella yang hidup. Tolong biarkan dia menunaikan setiap keinganannya."
"Ahahah." Aku terkekeh. "Jangan membohongiku. Gadis ini akan dikirim ke rumah sakit jiwa, 'kan?!"
"Setidaknya, biarkan Isabell menepati janjinya pada Natalia untuk merawat Raph kecil."
"Aku tidak peduli." Mengatakan itu membuatku merasa sakit. Sesungguhnya, aku peduli. Hanya saja aku tidak ingin terlihat seperti manusia biasa yang lemah dan lembek. Aku malu atas diriku yang menghabisi banyak nyawa, lantas tiba-tiba berubah menjadi orang lembut yang mendengarkan kata-kata anak lelaki budak cinta.
Aku tahu ini tidak adil bagi Isabella dan Johann, tapi demi harga diriku, aku akan melakukannya.
Sekali lagi kutatap netra hazel David. Dia memelas. Aku tidak pernah melihatnya begitu sebelumnya. Aku tahu bahwa saat ini dia juga merasa terluka. Dan aku tidak tahu, apakah luka yang kuloreh pada hatinya ini bisa sembuh atau tidak.
"Aku mohon..."
Kalimat itu membuatku kembali meremas gaunku.
Aku mohon... Kalimat itu pernah dilontarkan Isabella saat paman melecehkannya. Ketika itu, Isabell memohon supaya paman tidak melakukan itu lagi. Hanya saja, permohonan itu ditolak. Walau aku bukan dia, aku paham dengan sangat betapa sakitnya saat itu. Dan apakah jika aku menolak permohonan orang lain, apakah dia akan merasakan rasa sakit juga?
Aku menghela napas panjang. Aku memutuskan untuk turun sejenak dan berdiri tepat di hadapan David.
"Aku Isabella sekarang," kataku. Tentu saja aku berpura-pura. Aku tidak bisa mengontrol kepribadian-kepribadian ini. Jadi, aku hanya berpura-pura supaya dia tidak terluka. "Apa yang kau inginkan, David?"
"Kau bukan dia," balasnya.
Aku memejamkan mataku sembari terkikik.
"Kau manusia juga ternyata," sambung David.
Aku kembali membuka mataku.
"Kupikir pembunuh itu adalah iblis tak berhati serta tak berempati. Tapi ternyata aku salah. Pembunuh itu hanya manusia biasa yang masih bisa merasakan cinta dan luka—walau minim. Hanya saja dia kejam. Kau bukan iblis, kau bukan pula psikopat, aku mulai tahu, Nona. Kau hanyalah manusia biasa yang tidak bisa berfikir jernih, manusia yang haus akan keadilan dan fanatik dengan dendam. The Rose Killer tidak se-menyeramkan yang aku duga." David tersenyum getir.
"Apa yang kauinginkan?" tanyaku.
"Biarkan Isabella mewujudkan keinginannya," jawabnya.
Aku menghela napas panjang. "Aku tidak bisa mewujudkan yang itu. Lagipula, kupikir setelah mengetahui bahwa raganya adalah serial killer, dia juga tidak ingin hidup lagi."
David meringis.
"Dengan segenap hatiku yang terdalam; maaf."
"Apa kau ingin mati?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...