Isabella
Nyatanya memang Tristan baik-baik saja. Dia sehat seperti sedia-kala. Hanya menambal pipinya yang kusayat dengan gunting. Aku harap, dia tidak berniat membunuhku lagi.
Aku tidak melihatnya di sekolah, melainkan di jalan. Kudengar dia di-skors selama dua minggu karena hendak melukaiku. Yah, harusnya dia dipenjara karena hendak membunuh alias percobaan pembunuhan. Tapi aku juga kasihan padanya. Boleh jadi, dia memang sakit mental.
Aku perlu diantar-jemput oleh Avery—mengingat aku tidak memiliki siapa pun yang bisa diandalkan. Aku perlu menghindari Tristan. Dia memang tidak di sekolah. Tapi dia masih bebas berkeliaran di jalanan.
Ngomong-ngomong soal Avery, aku agak lupa siapa dia. Tiba-tiba dia hadir di hidupku dan menjagaku seperti anaknya sendiri. Aku tidak memiliki siapa pun, jadi bagiku Avery sangat berharga. Aku merasa bahwa dia selalu ingin berada di sisiku.
Avery selalu hadir ketika aku menjerit dan terbangun di malam hari. Walau rumah kami berjauhan, aku merasa bahwa Avery memiliki portal untuk menuju langsung ke tempat tinggalku. Avery menatapku sebagai "orang sakit". Dengan begitu, dia harus terus berada di sisiku. Aku cukup khawatir jika suatu saat nanti dia memutuskan untuk menikah dan meninggalkanku. Jadi, aku tetap membiarkan diriku menjadi orang sakit supaya dia terus menjagaku... selamanya.
Lamunanku buyar ketika aku menyadari bahwa David berdiri di hadapan bangkuku.
"Maaf soal binatang kaki seribu beberapa hari lalu," katanya dengan nada datar. "Tapi itu bukan aku."
"Lalu kenapa minta maaf?" Aku menyeringai.
"Karena aku berkelahi denganmu."
Aku tersenyum getir. "Lupakan itu."
David duduk di kursi—yang entah milik siapa—di depanku. "Ngomong-ngomong, sebagai permintaan maaf, bisakah aku me... uh, mentraktir segelas cappucino kesukaanmu?"
Aku tersenyum, lantas mengangguk.
"Nanti sore, bisa?"
Aku mengangguk lagi. Lagipula, siapa yang tidak mau cappuccino gratis?
xxx
Aku melambaikan tanganku pada Avery. Dia—yang berusaha membuatku tetap pulang bersamanya selama beberapa waktu—hanya bisa membalas lambaian itu dengan senyuman getir.
Aku pergi bersama David ke sebuah kafe pinggir jalan di pusat kota. Kafe klasik dengan alunan "Eine Kleine" dari gramofon tua di ujung ruangan.
Aku menyesap cappuccino spesial yang dibelikan oleh David.
"David," kataku, "apa kau punya pacar?"
Dia menggeleng. "Kalau aku punya, aku takkan melakukan ini."
"David." Aku menghela napas. "Mau berpura-pura jadi pacarku selama seminggu?"
David ternganga.
"Please, aku hanya ingin tahu bagaimana reaksi Avery jika aku berpacaran secara terang-terangan." Aku memelas.
"Aku tidak pacaran. Maksudnya, tidak berpura-pura."
Aku menekuk bibir dengan kecewa.
"Tapi akan selalu bersedia membantumu—kecuali hal itu."
Aku mengangguk.
"Lagipula Isabell, perasaan tidak patut dipura-pura 'kan?" Dia terkikik.
Aku mengangguk paham.
"Isabella," panggilnya. "Apa kau memikirkan sesuatu tentang pembunuhan Sanaya Moore?"
Aku mengangguk. "Dia dibunuh oleh orang yang berada di lingkungan sekolah. Semua orang tahu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Детектив / ТриллерDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...