[63]

72 12 2
                                    

oOo

David tidak bisa berhenti berteriak. Kakinya terasa lemas dan dia hampir terjatuh. Di saat yang bersamaan, Raph kecil menangis. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain menghentikan pekikannya. Dan benar saja, setelah menutup mulut, Raph juga berhenti menangis.

Eldmar yang masih terhuyung-huyung karena tertembak tadi memaksakan diri untuk berjalan ke arah pagar pembatas. Dia menatap ke bawah. Sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Tubuh Isabella seakan ditelah oleh genangan air yang tidak terbatas itu.

Eldmar terpaku sejenak. Walau musuhnya seakan lenyap, dia merasa bahwa ini tidak memenuhi ekspetasinya. Ekspetasinya adalah membawa Isabella ke kantor polisi, bukan melihat gadis itu mati bunuh diri. Kalau sudah begini, segala usahanya seakan sia-sia.

Rasa sakit di bahu Eldmar kembali menjalar. Dia pun kembali tertatih-tatih membalikkan badan. Sementara David berjalan ke arah pagar pembatas sembari meneteskan bulir-bulir air matanya.

"Sial, apa yang harus dilakukan jika tertembak? Apa aku harus ke klinik atau rumah sakit langsung?" tanya Eldmar pada David.

Namun David tidak menjawab. Dia hanya terpaku sembari berharap tubuh Isabella kembali nampak.

Tubuh Isabella lenyap di gulungan ombak itu. Tapi... walau bagaimana pun... dia tidak akan pernah lenyap dalam benak David.

Pada akhirnya David tersenyum getir. Hidup adalah pilihan. Ini adalah pilihan yang dia pilih. Walau tidak adil, tapi tidak ada yang bisa menghentikannya.

Pemuda itu kembali menatap Raph kecil dalam dekapannya. Bayi itu sangat tenang. Dia memejamkan matanya dan sedikit bergerak-gerak dalam selimut. Pada akhirnya David tahu, kenapa Isabella sangat menyukai bayi. Bayi adalah sesuatu yang putih dan belum ternoda. Sebisa mungkin, dia ingin menjaganya supaya bayi itu tidak tumbuh dengan noda.

"Gawat!" Eldmar berteriak.

David langsung menoleh.

"Pintunya dikunci!" lanjut Eldmar.

Dikunci? David segera kembali ke arah pintu. Dia berusaha menendang pintu tersebut. Tapi Eldmar benar. Pintu itu dikunci. Pemuda itu berdecak sebal. Tidak ada jalan lain untuk saat ini. Mereka tidak bisa lewat sisi kanan dan kiri villa besar itu, tempatnya dibatasi oleh tembok yang menjulang tinggi. Satu-satunya cara untuk keluar halaman adalah dengan pintu yang terkunci itu.

Namun, selama apa pun bantuan, David akan berusaha untuk menunggu. Tapi bagaimana dengan Eldmar? Anak lelaki itu sejak tadi meringis karena menahan rasa sakit yang teramat sangat.

xxxxx

Avery selalu tahu apa yang dipikirkan oleh Isabella dan Johann. Pria itu juga tahu apa yang selalu disembunyikan oleh mereka. Bahkan, dia adalah orang pertama yang menyadari kehadiran Angel. Walau gadis itu berusaha berpura-pura menjadi Isabella, dia selalu tahu segalanya tentang Isabella.

Dia juga tahu banyak hal tentang Angel. Bagaimana labilnya pemikirannya, atau bagaimana langkah yang hendak dia susuri—Avery tahu semua itu. Bahkan, Avery juga tahu bahwa setelah semua tugas-tugas Angel sebagai serial killer selesai, anak itu akan menyerahkan diri atau bunuh diri.

Tidak. Avery tidak ingin melihat seseorang yang berharga baginya lenyap begitu saja. Jika Isabella-nya tertangkap—mengingat banyaknya korban yang berjatuhan—dia mungkin akan dihukum mati. Jika tidak, dia pasti akan di tempatkan di rumah sakit jiwa, mendapat sanksi sosial dan pada akhirnya sama saja... Isabella tidak akan tahan dengan kondisi seperti itu hingga dia memutuskan untuk bunuh diri.

Pilihan apa pun yang Angel tentukan, maka jalan terakhirnya tetaplah bunuh diri.

Hanya saja, Avery tidak bisa menerima itu.

Walau dia perlu menjadi monster, dia harus menyelamatkan Isabella-nya.

Dengan segala kekuatannya, dia berusaha kabur dari tahanannya dengan Karina. Karina mencuri kunci sel, lalu mereka berlari, memukul polisi dan kabur menggunakan mobil curian.

Mereka tidak tahu di mana gerbang masuknya. Jadi dengan segala kerunyaman, Avery melesatkan mobilnya tanpa mengira-ngira. Villa tersebut terletak di atas tebing yang berbatasan dengan laut. Ketika melihat villa itu, Avery menghentikan laju mobilnya. Dia keluar mobil, mengamati sekitar dan kembali memikirkan bagaimana cara Isabella atau Angel berfikir.

Angel tidak mungkin ingin mati secara mengenaskan dan berdarah-darah seperti menembak dirinya sendiri dengan senapan. Sebab, selama ini dia membunuh banyak orang dengan senapan. Bunuh diri dengan senapan membuat derajatnya seolah sama dengan korbannya.

Jadi... tempat yang tepat jika Angel ingin menghabisi dirinya sendiri adalah tebing itu. Dengan loncat dari sana, tubuhnya pasti akan tenggelam di laut—mengingat bahwa dia sendiri juga tidak bisa berenang.

Sekali lagi, Avery selalu tahu apa yang mereka pikirkan.

"Karina, kau mencintai kakakmu, 'kan?" Avery menoleh dan menatap Karina yang masih duduk di kursi penumpang. "Kau masih ingin dia hidup, 'kan?"

Karina menekuk dahi. "Apa yang kau katakan ini? Beri-tahu secara jelas apa yang harus kulakukan!"

"Baik. Sekarang, kau hadang saksi-saksi yang ada di villa itu. Jangan biarkan mereka keluar terlebih dulu. Kau harus cepat. Jadi, kau bisa membawa mobil itu," tandas Avery.

Karina bergeming sejenak. "Kita benar-benar akan menyelamatkan Isabella, ya?"

"Keparat! Lakukan saja apa yang kukatakan!"

Karina mengangguk mengerti. Dengan cepat dia melompat ke kursi kemudi dan menjalankan mobil itu secara asal-asalan.

Avery kembali memutar otaknya. Jika dia sampai terlambat menolong Isabella saat tubuhnya terjun dari tebing, maka akan gawat. Tubuh itu bisa saja terseret ombak yang tiba-tiba datang lantas menghilang. Jadi Avery harus cepat menuju tempat itu—apa pun yang terjadi.

Pria itu menghela napas. Sekali lagi, apa pun yang terjadi, Isabella harus hidup.

Dia bertaruh nyawa untuk sampai ke bawah tebing itu. Dia berenang dengan susah-payah di dalam air yang menggila itu. Sesekali air masuk ke hidung dan mulutnya, sesekali dia merasa kewalahan dan ingin mati. Tapi dia rela melakukan apa pun untuk Isabella-nya.

Baru setengah jalan, dia memutuskan untuk mendongakkan kepala ke permukaan. Di saat itu pula, dia melihat tubuh Isabella terjatuh dari tebing itu dan langsung menghantam air.

Avery membelalak. Jantungnya tetasa berhenti berdetak. Dia pun segera menambah kecepatannya.

Apa pun yang terjadi, Isabella tidak boleh mati. Aku rela menjadi iblis atau menggadaikan jiwaku pada iblis untuk menyelamatkannya. Karena dia berharga... sangat berharga. Jadi, sekali lagi, apa pun yang terjadi dia tidak boleh mati!

Ketika sampai di posisi Isabella tadi, Avery tidak menemukan tubuh itu. Hal itu membuat Avery merasa frustrasi dan kehilangan semangatnya. Tapi sekali lagi dia berusaha. Dia menyelam dan berharap menemukan tubuh seseorang yang sangat berharga baginya itu.

Dalam sekejap, doa-doanya itu seakan terkabulkan. Dia menemukan Isabella yang sudah tidak sadarkan diri berada di dalam air. Dengan cepat Avery meraih tubuh itu, dengan cepat pula dia berenang kembali ke bibir pantai. Sebab dilihat dari sisi manapun, tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat saat ini.

Sekali lagi, dengan bersusah payah, Avery perlu menaklukan air-air itu dengan membawa tubuh Isabella-nya.

Setelah sampai di daratan, dia segera membaringkan tubuh Isabella yang sempurna tidak bergerak di atas pasir pantai. Senapan-senapan itu masih tergantung di punggungnya dan Avery juga tahu bahwa Isabella tertembak. Darah itu masih mengalir dari bahu.

Avery segera menempatkan bagian bawah pergelangan tangannya ke dada Isabella dan melakukan kompresi secara berkali-kali.

Hanya saja, tidak ada respon.

Avery terpaku sejenak. Setelah itu, dia mengecek denyut nadi Isabella.

Dia hanya membelalak.

Di saat yang bersamaan, Karina kembali. Dia menepuk bahu Avery dari belakang. Avery pun menoleh dan menatap gadis dengan wajah datar itu.

"Avery..."

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang