Angel
Gawat.
Aku kehilangan salah satu mata anting-antingku. Aku tidak tahu di mana benda itu terjatuh. Tapi, ada kemungkinan bahwa benda itu terjatuh di TKP. Aku memang menggunakan penutup kepala, tapi telingaku masih nampak.
Walau aku sudah mengecek TKP, ada kemungkinan kalau aku teledor karena terlalu senang saat itu.
Hal ini membuatku sangat panik. Aku gemetar. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika Nico atau para penyidik lainnya menemukan manik itu. Kuputuskan bahwa aku akan membakar anting-antingku di tungku perapian. Jadi, untuk saat ini aku melemparnya ke tungku.
Hari ini aku kembali mengambil sebuah senapan Glock-17 yang pernah kucuri dari pria itu. Aku mendapatkan peluru-pelurunya di ruang bawah tanahnya. Setelah habis, kuputuskan untuk membeli secara langsung di sebuah toko di kota lain. Sebab, jika aku membelinya di kota ini atau toko online, maka aku akan segera tertangkap.
Semua dendam-dendamku telah terbalaskan. Aku tidak memiliki orang lain lagi yang harus diberi keadilan dan diloreh luka pada hatinya. Tapi hatiku seakan tidak pernah bisa berhenti untuk membunuh. Ketika aku tidak memiliki alasan lagi untuk melakukannya, maka aku akan memutar otak untuk mencari alasan lagi.
Sama seperti dahulu. Dahulu aku hanya ingin membunuh Sanaya dan membuat mayatnya dalam keadaan seperti yang pernah kutulis di artikelku. Tapi setelah aku melakukannya, aku seakan ketagihan—sama seperti ketika aku memutuskan untuk mencicipi narkotika dan bir. Pada akhirnya, aku pun membunuh Kinara dan orang-orang lainnya untuk memenuhi keinginanku dan lukaku yang telah lama terkubur.
Sekarang semuanya telah selesai.
Namun aku kembali menemukan tujuan lain. Aku seakan tergerak untuk kembali membunuh seseorang. Tapi rasanya tidak etis jika aku membunuh orang yang tak bersalah. Jadi, kuputuskan untuk membunuh para penjahat yang meresahkan kota.
Hal itu bertujuan untuk kedamaian. Jika sudah tidak ada penjahat lagi, maka kota ini akan tenteram. Orang-orang juga tidak akan berbuat jahat lagi karena mereka takut akan malaikat maut yang membantai penjahat-penjahat ini.
Dengan begitu, orang-orang yang kusayangi akan hidup dengan bahagia.
Yah, aku akan melindungi mereka.
Sebab boleh jadi, di masa depan nanti, mereka juga menjadi sasaran kejahatan. Jadi aku harus mencegahnya.
Dengan tanganku, aku perlu melindungi mereka.
Jadi hari ini, aku memutuskan untuk menarik pelatukku ke kepala mereka satu-persatu. Mereka adalah teman-teman Ashton Key—para penjahat dengan kekuatan dan kenalan orang dalam. Sulit untuk menangkap atau menghakimi mereka karena mereka sendiri sudah bukan manusia lagi. Walau kuputuskan untuk membunuh anak-anak atau istri mereka, mereka tidak akan pernah berubah. Jadi aku akan menghabisi para penjahat langsung dengan tanganku.
Malam ini, di bawah rembulan yang bersinar terang, lima buah peluru melesat ke satu-persatu kepala mereka.
Tubuh gempal mereka langsung terjatuh ke tanah.
Mereka tidak bisa menghindari. Walau mereka memiliki senapan laras panjang, mereka tidak bisa menembakku. Aku bersembunyi di balik semak-semak. Lima peluru dalam lima detik—bahkan mungkin kurang. Mereka tidak bisa se-cekatan aku.
Setelah kupastikan bahwa mereka sempurna mati, aku mendekati mereka lantas menyebar mawar dan parfum.
Aku berlalu dengan senandung "Ceux Qui Rêvent" seperti biasanya.
Setelah itu aku melepas penutup kepalaku dan masuk ke salah satu kafe. Aku memesan cappucino dan menyesapnya perlahan-lahan.
Dari luar, bunyi sirene mobil polisi memecah keheningan malam. Aku melirik ke luar jendela kafe. Beberapa pengunjung lainnya juga menoleh. Bahkan beberapa dari mereka sampai keluar kafe untuk melihat mobil-mobil polisi itu berlaju.
Aku mengernyit tidak peduli.
"Ada pembunuhan lagi. Lima orang langsung. Kepalanya ditembak." Seorang pria masuk ke dalam kafe dengan tergopoh-gopoh, menghampiri seorang wanita yang mungkin teman kencannya.
"Oh, benarkah, di mana?" tanya wanitanya.
"Tidak jauh dari TKP pembunuhan Ashton Key dulu."
"Wah, sayang sekali, tempat itu sepi. Rencana CCTV belum direalisasikan. Sayang sekali."
"Mereka semua seperti Ashton Key. Pernah memiliki catatan kriminal."
"Oh, benarkah? Jadi, The Rose Killer ini membunuh penjahat, ya?"
Pria itu mengangkat bahu.
"Aku merasa bahwa Si Pembunuh ini memiliki keterkaitan dengan keadilan, dendam dan emosi." Wanita itu menelan salivanya. "Aku tidak tahu dia waras atau tidak. Yang pasti—"
"Dia waras." Aku menyahut dengan cepat. Bagaimana tidak emosi jika seseorang menyangka bahwa dirimu tidak waras?
"Oh, ya." Wanita itu terkikik.
Aku menatapnya. "Jika dia tidak waras, bagaimana dia tidak bisa ditangkap selama ini? Orang sakit tidak bisa melakukan hal semacam ini?"
"Yah, bukan begitu maksudnya," sahut Si Pria. "Maksudnya dia adalah psikopat atau semacamnya."
"Dia bukan psikopat. Dia hanya manusia biasa yang kebetulan kejam dan cerdas," jawabku.
Mereka hanya manggut-manggut.
Sembari menunggu pesanan, aku meraih ponselku dengan wallpaper lockscreen foto Norman. Aku mendapatkan sebuah pesan masuk.
Bagaimana dengan Mary Jane-mu? Kalau tidak mengambilnya lagi, maka aku akan memberikannya pada anak lain.
Aku menghela napas panjang. Pistol itu masih ada dibalik jaketku. Aku meremasnya di dalam. Besok, aku akan melakukannya lagi.
oOo
I'am done with everything...
Kini Nico mengetahui apa arti kalimat itu. Hal itu merujuk bahwa The Rose Killer telah selesai dengan tujuannya sebelumnya. Tapi kini dia memiliki tujuan lainnya, yakni membunuh orang-orang secara random atau mungkin para kriminal dan penjahat.
Lima tubuh tumbang bersimbah darah di tanah. Mereka merupakan orang-orang yang sering dilihat bersama Ashton Key. Nico paham betul bahwa mereka memiliki catatan kejahatan. Jadi, apakah The Rose Killer akan mulai membunuh para penjahat?
Hal ini membuat Nico merasa frustrasi. Dia seakan dipermainkan oleh pembunuh itu. Sudah cukup lama dia mencarinya, tapi sama sekali tidak bisa dia temukan. Bahkan dia tidak mendapatkan petunjuk apa pun.
"Nic, kita harus mengusulkan untuk memasang CCTV di segala sudut kota." Ray menepuk bahu Nico.
Nico menghela napas panjang.
"Ini sudah kelewatan," bisik Ray.
"Kita menemukan jejak kaki." Seorang anggota kepolisian berseru.
Nico dan Ray langsung menuju ke tempat yang ditunjuk.
Sebuah jejak kaki terpambang di sana.
"Ini sepertinya sepatu hak tinggi. Ukuran 39 atau 40," kata polisi itu.
"Apa bisa dipastikan bahwa ini milik pelaku?" tanya Ray.
Polisi tersebut mengangguk. "Kita lihat salah satu mayatnya." Dia bergeser ke arah mayat-mayat di sampingnya.
Polisi tersebut menunjuk punggung salah satu mayat. Bajunya seakan ditindih oleh sesuatu. Itu merupakan jejak hak sepatu. Jejak tersebut tertempel di salah satu punggung mayat.
"Jadi, sebelum pergi The Rose Killer menginjaknya?" tanya Ray.
"Kemungkinan begitu," jawab polisi tersebut.
"Ini sebuah kebodohan." Nico menyeringai. Dia mengepalkan tangannya erat-erat. "Dengan ini, kita memiliki petunjuk untuk menangkapnya. Aku sudah tahu siapa pemilik jejak kaki ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Roseraie [END || REPUBLISH]
Mystery / ThrillerDi sebuah sekolah menengah, Sanaya ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Sebelum polisi mengungkap siapa pelakunya, pembunuhan-pembunuhan lainnya terjadi. Tidak hanya itu, pembantaian besar-besaran pun tak dapat dihindari. Di sisi lain, ada Isa...