[39]

71 15 9
                                    

Avery hanya bisa duduk termenung di sel tahanan yang hening dan dingin itu. Dia membenamkan kepalanya ke lutut. Baru kali ini dia merasa sangat kesepian. Tidak ada satu pun suara yang bisa mengisi indra pendengarannya. Bahkan sel-sel di sekitarnya pun sama heningnya seperti dirinya.

Jadi begini, ya? Rasanya menjadi pembunuh.

Suara langkah kaki mulai terdengar. Semakin lama semakin kuat. Tapi Avery tidak tertarik untuk melihatnya. Biasanya, itu hanyalah penjaga atau sipir yang mondar-madir.

Namun langkah itu seakan berhenti tepat di hadapan selnya.

Avery menoleh.

Seorang gadis dengan kemeja putih yang dibalut celana legging hitam berdiri di hadapannya. Dia memiliki rambut pendek yang dikuncir secara acak-acakan. Sepatu boots tinggi menjulang hingga ke batas lututnya. Dia menjilati salah satu jemarinya. Kedua matanya yang tajam seakan menghunus benak Avery.

"Kamu?" Avery menelan salivanya. "Kamu datang lagi?"

Gadis itu melepaskan jarinya dari mulut, lantas dia mengangguk. "Kudengar ada kasus pembunuhan berantai di kota ini, jadi aku memutuskan untuk kembali dan menonton."

"Awalnya, kukira itu kau." Avery menyeringai.

Gadis itu terkekeh. "Haha, tidak lucu."

"Kau sudah besar, ya?" tanya Avery.

"Aku tidak ingin berbasa-basi. Aku di sini hanya untuk menghiburmu sedikit dengan mengatakan sebuah fakta," kata gadis itu.

"Fakta tentang?"

"Isabell tercinta."

"Apa itu?"

"Aku yang memindahkan mayat anak lelaki itu ke sungai. Sebab, jika di bawah tanah tidak akan ada yang menemukannya."

Avery membelalak. "Kau jahat sekali."

"Aku?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri. "Tentu tidak! Aku hanya mau membantu Isabella unuk mencari kesalahanmu dan menjebloskanmu ke penjara." Gadis itu terkikik setelahnya.

Avery hanya bisa ternganga. Ternyata, dua gadis itulah yang membuatnya berada di balik jeruji besi. Tapi kenapa Isabella melakukannya? Apakah karena Isabella membencinya? Pertanyaan itu segera melekat di benak Avery.

"Padahal sih, Isabella tidak perlu repot-repot mengenai masalah itu. Soalnya dia sudah menemukan jari yang terkubur di belakang rumah," bisik gadis itu. "Tapi dia tidak ingin melibatkan dirinya sendiri. Dia tidak ingin diperiksa. Sebab secara otomatis dia juga akan diperiksa jika masalah mayat di belakang rumah itu ketahuan polisi. Jadi, dia tidak melaporkannya pada polisi. Jika dia melapor sih, bisa-bisa kau dipenjara lebih lama."

Avery beranjak dari posisinya. Dia berdiri tepat di hadapan gadis itu. Jarak mereka hanya dibatasi oleh jeruji besi.

"Kau tahu kenapa?" tanya gadis itu.

Avery menggeng.

"Karena Isabella mencintaimu," sambungnya. "Dia tidak ingin kehilangan kamu."

Avery ternganga.

"Baik, akan kujelaskan. Kau memiliki hubungan dengan seorang guru UKS 'kan? Nah, saat wajah Isabella dirobek oleh Tristan, Isabella dirawat oleh guru itu. Siapa namanya? Oh, Bu Chery, 'kan? Di sana, guru perempuan itu bilang begini; 'Suatu hari nanti, aku akan menikah dengan Avery. Dan di saat itu, mungkin kami akan pergi ke luar kota—mungkin ibu kota. Kau tahu apa artinya? Avery akan meninggalkanmu'. Nah begitu. Jadi, sebelum kalian menikah, Isabella ingin memisahkan kalian supaya kalian tidak bersama dan kau tidak meninggalkan gadis itu. Isabella rela lakukan apa pun. Termasuk menjebloskanmu ke penjara. Yang penting, kau tidak direbut oleh siapa pun."

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang