Ngomong-ngomong soal 'berbeda', maka aku memang memilih untuk jadi berbeda. Pak Polisi ini tak mungkin paham atas itu. Yang dia tahu cuma berpikiran buruk dan menilai orang lain secara sepihak. Jangan, jangan sampai Pak Polisi ini tahu apa yang aku pikirkan. Bisa-bisa ketananganku di sini terusik. Aina melirik Gema dari tempatnya duduk manis. Pemuda itu mondar-mandir di depannya seperti setrika yang tak kunjung melicinkan pakaian karena si pengguna lupa mencolokkan kabel ke stop kontak.
"Aku sama sekali nggak percaya sama kamu."
"Pak Polisi, percaya atau tidaknya Anda kepadaku itu bukan urusanku."
Kaki Gema pada akhirnya berhenti di tempat. Hal yang sudah diperkirakan Aina ketika ia dengan sengaja membalas ketus seperti barusan. "Yang jadi fokus curigaku, kenapa Handoko nggak melenyapkan kamu juga seperti polisi sebelum aku dan rekan-rekanku?"
"Sekali lagi, aku ingin menegaskan bahwa ini terakhir kalinya aku kasih penjelasan. Aku teman dekat Rani di kantor dan selama dua bulan kenal sejak Desember lalu, berbagi informasi pribadi tentang keluarga juga jadi hal yang lumrah, kan? Dia masih terhitung berkali-kali menceritakan ayah dan ibunya, adiknya, lalu Handoko yang katanya adalah pamannya itu. Dia pernah memohon untuk diantarkan ke rumah Handoko karena ada sesuatu yang katanya mau dibicarakan. Rani minta aku menunggu dia di depan rumah, katanya lebih baik aku nggak ikut masuk. Jadi aku benar-benar nggak pernah kenal atau berkenalan dengan Handoko. Laki-laki itu nggak tahu menahu soal aku." Aina lelah sebenarnya menjelaskan panjang lebar, apalagi ia tahu kalau Gema masih menatapnya tajam.
"Oh, ya? Gitu? Terus buat apa kamu pergi ninggalin Jakarta setelah pembunuhan terjadi? Teman-teman sekantormu sendiri yang bilang kalau kamu izin ke atasanmu untuk pulang kampung ke Jogja. Sekarang gimana aku bisa lepasin kamu kalau aku merasa kamu ada hubungannya sama pembunuhan ini."
Aina diam sebentar, ada sesuatu yang harus ia pastikan dari Gema. "Apa yang Anda tahu tentang saya sejauh ini memangnya, Pak Polisi?" tanyanya hati-hati menggunakan cara bicara yang terlatih sehingga tak mencurigakan. "Kenapa Anda sampai sebegininya mencurigai aku?"
"Ainastiti Aksara, 25 tahun. Asal Jogja. Lulusan salah satu universities swasta di Jogja, sarjana ekonomi." Gema memasang muka serba tahu yang ia tujukan sebagai intimidasi secara tak langsung. Sebagai balasannya, ia mendapat tatapan datar dari Aina. Tidak lebih. Bukti bahwa gadis itu biasa-biasa saja. Tak tampak ketakutan yang keluar dari persembunyian yang Gema kira memang ada dalam diri Aina. Namun meski begitu, masih ada yang mengganjal di hati Gema. "Tapi polisi yang tewas dibunuh itu dapat semua informasi dari kamu, kan? Harusnya, kalau Handoko bisa membunuh polisi itu, dia juga akan dapat jalan menuju kamu, Aina."
Aina menggeleng, dengan ekspresi yang dia tunjukkan saat ini: takut. Berharap itu akan membuat Gema luruh dan prihatin padanya. "Pak Polisi, bukannya udah aku bilang kalau polisi itu sedang dalam masa pedekate sama Rani? Udah aku bilang juga kan, kalau Handoko nggak suka Rani dekat-dekat sama polisi itu? Bukannya harusnya mudah mendeteksi adanya kecemburuan di sini? Aku pikir polisi itu juga pintar, dia bisa dengan mudah mencaritahu ada hubungan apa antara Rani dengan Handoko, lalu sampai ke motif pembunuhannya. Nggak seperti Anda."
"Oh, maksudmu aku bodoh?"
"Bukan aku yang bilang."
Gema menghitung dalam hati dari satu sampai sepuluh, untuk memberi waktu bagi dirinya sendiri untuk dapat tenang. Menghadapi gadis satu ini benar-benar menguras tak hanya energinya, tapi juga daya kerja otaknya harus lebih ekstra. Belum lagi, ini lebih sesuai dibilang uji kesabaran. Sabar yang kata sebagian orang nggak punya batasan dan sebagian lagi bilang kalau kesabaran adalah sesuatu yang paling terbatas selain stok tas impor di toko-toko.
"Terus kalau aku bodoh, kamu apa? Kamu yang awalnya nggak mencurigai apa-apa dan dengan polosnya bilang kalau informasi soal Rani dan Handoko adalah hal nggak penting," sinis Gema kemudian, yang ia layangkan sebagai balasan karena kesal juga melihat perangai Aina yang sok berani, padahal ia tahu bahwa perkataannya mengenai Handoko yang bisa menemukan jalan ke gadis itu, telah membuatnya ketakutan akan keselamatan nyawanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
404 NOT FOUND [Complete]
AcciónGENRE: ACTION - ROMANCE [TAHAP REVISI, JADI SERING-SERING LAH DI-REFRESH UNTUK PEMBARUAN BAB] SELURUH ADEGAN TERORISME DALAM CERITA INI TIDAK BERMAKSUD MENYANGKUT-PAUTKAN PIHAK MANAPUN DAN MERUPAKAN FIKTIF BELAKA. LOKASI DAN ORANG-ORANG TERKAIT MERU...