'Jangan menyelekan suatu perkara' barangkali jadi kalimat yang sesuai untuk pekerjaan Gema. Seperti contohnya, seorang anak laki-laki yang lulus dari bangku putih abu-abu tahun lalu yang baru saja ia jebloskan ke dalam jeruji besi ini. Karena masalah sepele ia sampai membunuh ibunya sendiri. Meski sesungguhnya, Gema tahu ia tak seharusnya meremehkan hal yang menurutnya sepele tersebut, karena bisa jadi bagi anak tersebut, hal itu sebenarnya rumit.
"Gimana bisa kamu sampai membunuh, ha? Ibumu cuma mau melindungimu untuk nggak ikut-ikutan geng motor tak berguna itu."
"Bapak nggak tahu apa-apa."
"Yang saya tahu, kehilangan ibu saya dalam insiden pembunuhan membuat saya kehilangan segalanya juga. Kebahagiaan, masa kecil yang seharusnya senang karena adanya kasih sayang dan cinta seorang ibu, lenyap."
Anak yang diajak bicara oleh Gema itu mengusap air matanya entah karena penyesalan atau sebagai bentuk rasa marah, lantas mendongak ke Gema karena posisinya sendiri memang sedang duduk memeluk lutut. "Mungkin akan lebih baik kalau Bapak nggak punya ibu, daripada masa kecil Bapak disiksa setiap hari olehnya."
"Ibu saya nggak pernah begitu."
"Tapi ibu saya begitu."
Gema mematung. Untuk sesaat tadi ia lupa bahwa tiap-tiap orang membawa lukanya masing-masing yang berbeda-beda. Bahwa tidak seharusnya ia menghakimi anak ini karena ia tidak ada di posisi yang sama. Gema tidak pernah tahu seberapa terlukanya anak ini sampai-sampai berani menikam ibunya sendiri. Tapi dalam hukum bersosial, bermasyarakat dan kemanusiaan, tindakannya tetap tak dapat dibenarkan. Reserse itu berbalik dan pergi setelah tak tahu lagi harus menjawab bagaimana. Ada rasa sesak dan sesal yang tak dapat ia jelaskan bahkan pada dirinya sendiri. Sejak berada di mobil, duduk bersebelahan dengan anak itu, ia sudah menahan untuk tidak membahas ini. Ia meminta untuk menjadi pengantar anak itu ke jeruji besi pun, sebab ada kepuasan tersendiri atas obsesinya memberikan pelajaran ke seorang pembunuh-yang Addri dan Firli sudah sangat memahami kebiasaan tersebut.
Sekarang, sudah hampir petang. Tak tahu langkahnya mau ia arahkan ke mana, yang jelas ia berharap udara malam dapat sedikit menyejukkan pikirannya.
"Gema mau ke mana, Fir?" bisik Addri.
"Biarkan aja dia sendiri, Ad."
"Aku juga nggak ada niatan nyusul, daripada jadi obat nyamuk."
"Memang menurutmu dia mau ke mana, kok kamu bilang gitu?"
"Menemui Aina lah. Ke mana lagi?"
Firli mendelik. "Ah, serius? Berarti, kali ini Gema beneran suka, ya?"
Addri bukannya membalas, malah menggandeng tangan Firli yang padahal sudah ia tahu bahwa gadis itu akan menepisnya kasar. "Aku tahu kamu lapar dan buru-buru ingin makan, Ad. Tapi apa nggak bisa, jalan tanpa menggandeng tanganku segala?!"
Sementara itu di lain tempat, Aina membaca pesan singkat dari Delia.
An, barusan Gema ke sini menananyakanmu. Aku cuma bisa bilang kalau kamu bekerja. Jadi kemungkinan dia sedang menuju ke kantor yang dia tahu adalah tempatmu bekerja itu. Di manapun kamu, segera ke sana, ya.
Sepertinya, Addri layak untuk diberi penghargaan atas tebakannya yang akurat. Di bangku depan kantor Aina, Gema duduk sambil menikmati kopi yang Aina bawakan dari dalam. Gema menatap Aina kasihan karena kantung mata hitam itu sudah cukup menjelaskan betapa kerasnya gadis itu bekerja. "Kamu bekerja sekeras ini untuk siapa, An?"
Aina yang juga menikmati kopinya, menoleh. "Bagaimana denganmu? Kamu sendiri sepertinya nggak pernah tidur."
Untuk sesaat, Gema terhipnotis. "Tumben pakai kata kamu?"
![](https://img.wattpad.com/cover/256321537-288-k372240.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
404 NOT FOUND [Complete]
ActieGENRE: ACTION - ROMANCE [TAHAP REVISI, JADI SERING-SERING LAH DI-REFRESH UNTUK PEMBARUAN BAB] SELURUH ADEGAN TERORISME DALAM CERITA INI TIDAK BERMAKSUD MENYANGKUT-PAUTKAN PIHAK MANAPUN DAN MERUPAKAN FIKTIF BELAKA. LOKASI DAN ORANG-ORANG TERKAIT MERU...