17 :: RENCANA

305 26 18
                                    

Tak peduli seberapa lelahpun seseorang, hari tetap berganti. Jakarta dan segala yang ada di dalamnya. Di mana setiap hari selalu diawali dengan kemacetan yang menyebabkan orang-orangnya harus pintar-pintar mengatur waktu, namun di sisi lain, bahkan semua itu ada bagusnya. Kesabaran orang-orangnya, terlatih. Ya meskipun masih sangat banyak yang langsung menekan klakson ketika lampu belum ada sedetik berwarna hijau. Akmal, sampai di kantor setengah jam lebih lama dari jam kerjanya yang seharusnya. Alasan macet tak akan jadi masalah karena ia yang melontarkannya. Ya, atasan Gema, Addri, dan Firli. Dengan nyaman ia melangkahkan kaki masuk ke kantor, berpapasan dengan orang-orang yang menyapanya ramah. Hal yang sudah biasa ia dapati sehari-harinya. Ia sangat disegani, kecuali oleh Inspektur Polisi Satu (Iptu) Gema dan rekan laki-lakinya, Iptu Addri. Ya, selain Gema ia juga sangat tidak menyukai Addri, bawahannya yang sangat dekat dengan Firli. Bukannya sudah merupakan hal yang lumrah untuk tak menyukai rival sendiri?

Akmal masuk ke dalam ruangannya, meletakkan tas sebelum menilik ke ruangan para reserse menyebalkan tersebut. Sampai, ia dibuat kaget ketika ruangan itu hanya menyisakan dua orang saja yang merupakan satuan bagian pembunuhan. Dengan raut yang berubah akibat menduga-duga sesuatu, laki-laki itu melangkah tegas menuju ke dua orang yang sejak tadi tak menyadari hadirnya dirinya. "Di mana Gema, Addri, dan Firli? Setahu saya belum ada kasus apapun hari ini? Apa mereka melanjutkan kasus penemuan mayat tiga hari lalu itu?"

Buru-buru dua orang tadi berdiri tegak, memberi hormat. "Siap, Pak. Selamat pagi. Mereka bertiga belum datang."

"Kalian tahu ke mana mereka?"

"Siap, tidak."

Sejak beberapa hari ini Akmal memang sudah berpikiran buruk karena prasangka-prasangkanya mulai berdatangan bahkan saat ia sedang makan-di mana harusnya menikmati apapun hidangan lezat yang disajikan istrinya di rumah- pikirannya tertarik pada hal ini. Tepatnya adalah, sejak sidang Handoko dilaksanakan. Sidang yang akhirnya ditunda dua minggu namun orang yang disidang justru sudah keluar dari sini kemarin. Dengan dada berdesir hebat, Akmal pun kembali ke ruangannya dengan muka yang merah padam, sambil berharap semua ini tidak akan membawa dan menyangkutpautkan dirinya. Takut? Ya, betul. Manusiawi seseorang untuk merasa takut ketika berada dalam situasi yang mengancam.

Laki-laki itu segera mencari ponselnya dalam tas. Karena sedang dalam kondisi hati yang berantakan, ia kesusahan melakukan hal sesepele itu. Merasa tak sabar, seisi tas pun ia tumpahkan ke atas meja kerja yang terdapat nama serta pangkatnya yang terpajang di sana. Ponsel sialan yang susah sekali ia temukan itu pun segera diraih, menggulir beberapa kali sampai kemudian ia dekatkan ke telinga.

Di tempat lain yang mana butuh perjalanan tempuh dua jam lebih, sebuah getaran terasa pada bantal yang sedang digunakan menumpu kepala. Handoko, yang tengah berandai-andai melihat wajah geram tiga reserse itu terutama Gema ketika dirinya bebas kemarin-yang sayang sekali tidak dapat ia saksikan-menghentikan imajinasinya. Tak lagi menggunakan ponsel jadul yang adalah ponsel sementaranya ketika berada di tahanan, ia melihat ke layar ponsel canggih yang memiliki empat simbol lingkaran di bagian belakangnya. Ponsel yang tadi setelah ia bersenang-senang dengan Dini, sengaja ia benamkan di bawah bantal, sekarang menjadi pusat perhatiannya. Sebuah nama yang sangat ia kenal bahkan telah berkawan lama dengannya, terpampang, ia baca dalam hati sepersekian detik sebelum akhirnya ia angkat. "Halo?"

"Keputusanmu mengekspos keberadaanmu di Bogor adalah kesalahan besar!"

Handoko yang mendengarnya terkekeh. "Ada apa? Suaramu sampai gemetar begitu," balasnya masih tenang. Memang sudah perangainya begitu. Dalam keadaan apapun, ia tak pernah merasa terintimidasi.

"Tiga reserse itu tidak ada di sini! Mereka pasti ke sana! Lihat saja kalau mereka benar ke sana tanpa surat perintah, aku pastikan mereka kena batunya!"

404 NOT FOUND [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang