21 :: KEHILANGAN

250 32 9
                                    

Polisi suruhan Handoko yang masuk ke daftar sogokannya, mengecek CCTV sekitar untuk mencari bukti keberadaan Gema dan teman-temannya di lokasi dekat gereja agar nantinya dapat digunakan untuk mencari jalan menyeret mereka ke dalam masalah, harus menemui kabar buruk bahwa seluruh rekaman CCTV hilang. Padahal yang membuatnya berani berurusan dengan CCTV adalah karena para tersangka pengeboman tahu titik buta kamera. Sekalipun ada kamera menangkap, tidak jadi masalah besar karena tugas polisi suruhannya datang ke sana juga termasuk untuk mengamankannya. Kebutuhannya hanya mengeluarkan rekaman yang terdapat Gema di dalamnya saja kepada publik. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah mengkambing-hitamkan reserse itu sebagai dendam yang terbalaskan.

"Jadi ada yang selangkah lebih maju dari aku? Siapa?!" geramnya ketika baru saja mendengarkan penjelasan dari seberang telepon. "Tiga orang yang meletakkan bom di dalam gereja itu pun hilang entah ke mana."

"Saat kami tiba di sana tidak ada siapapun selain para jemaat yang berkumpul, Pak. Lalu siapa yang memberitahu dan menuntun mereka semua keluar dari gereja?"

"Dua orang pengebom rumah yang lolos mengatakan padaku kalau ada sekumpulan orang yang datang sebelum para reserse itu!" ketus Handoko. "Kalau begitu musuhku kali ini bertambah. Siapapun mereka, pasti mereka berada di balik hilangnya tiga orangku."

Sambungan ditutup begitu saja. Handoko menggeram sekali lagi pada sekitarnya di mana ada empat orang bertubuh besar yang diikat tangan dan kakinya di ujung ruangan, sedangkan yang satu diikat duduk di sebuah kursi. Handoko menyeringai seraya mendekat ke laki-laki yang ia tahu adalah petinggi daerah itu. Dengan tega ia mengambil lakban yang menutup mulut Darmawan secara kasar hingga laki-laki tersebut mengaduh kesakitan. Darmawan sendiri sedang berusaha untuk menarik kesimpulan dari semua perlakuan Handoko padanya yang seketika berubah jadi sangat buruk, berbeda dengan sebelumnya yang segan dan ramah padanya sampai-sampai menawarkan bantuan untuk menemukan istri dan anaknya yang hilang di suatu malam tanpa satupun suara terdengar; tak ada yang terbangun; juga tak ada yang menyadari hingga di pagi hari Darmawan mengalami mimpi buruk yang nyata saat tak mendapati orang-orang tercintanya di rumah.

"Jadi benar kata para reserse itu. Kamu sendirilah yang menculik istri dan putriku! Kamu memanipulasiku untuk mau melakukan apa yang kamu inginkan!" Darmawan buka suara lantas meludah ke sepatu hitam Handoko yang mengkilat.

"Kamu terlalu banyak bicara!" Handoko melayangkan satu bogem pada pipi Darmawan hingga ujung bibirnya mengeluarkan cairan merah. "Setidaknya aku sudah berbaik hati membiarkan istri dan anakmu hidup. Jadi sekarang jika kamu tidak mau melakukan apa yang aku perintahkan, akan aku pastikan mereka meregang nyawa tepat di depan matamu."

Darmawan telah kehabisan air matanya. Sekarang meski Handoko secara terang-terangan menjadikannya boneka, ia masih tetap tak bisa apa-apa. Kini, ia berada di hadapan orang itu tak lagi sebagai petinggi melainkan sebagai seorang suami dan ayah yang amat mencintai keluarganya. Dari ruangannya sekarang bahkan ia bisa mendengar jeritan kesakitan dari istri dan anaknya yang berada di ruang sebelah. Tiap ia melakukan sesuatu yang membuat Handoko tak suka, Handoko akan langsung menginstruksikan anak buahnya lewat ponsel untuk menyakiti dua perempuan itu. Berkali-kali pula Darmawan meringis sambil memejam karena tidak tega dengan yang ia dengar. Terlebih panggilan-panggilan yang menghiasi teriakan tersebut makin membuatnya merana dan menangis lirih tanpa air mata.

"AYAAAHH...!! TOLONG KAMI, AYAH!! TOLONG...!!"

"MAS, JANGAN BIARKAN ORANG-ORANG INI MENYAKITI KITA, MAS... AKU MOHON..."

Suara pukulan pun bersahutan. "AAAAAA!! AYAH, TOLONG BUAT KITA SEMUA PERGI DARI SINI, AYAH...!!"

"CUKUP! HANDOKO, CUKUP!" teriak Darmawan frustrasi. Ia memperlihatkan matanya yang tanpa perlu bercermin pun ia yakini telah memerah layaknya darah yang mengalir pelan-pelan di sudut bibirnya. Mendengar semua itu tadi, siapa yang akan tahan? Ia bahkan tidak tahu harus bersyukur atau merutuk karena bersedia ikut dengan orang-orang Handoko yang menjemput ke rumahnya. Bersyukur karena ia tahu segala permainan licik Handoko dan tahu bahwa istri dan anaknya masih hidup sampai saat ini. Atau merutuk karena saat di sini ia tetap jadi orang putus asa yang tidak punya pilihan lain selain terlibat dalam kejahatan keamanan di wilayah yang ia dipercaya jadi petingginya. "Baiklah, Handoko, baiklah. Aku akan turuti kemauanmu apapun itu ... Asalkan kamu melepaskan istri dan putriku..."

404 NOT FOUND [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang