20 :: PERSEMBUNYIAN

267 26 18
                                    

"Aina? M-mana yang sakit? Kamu bisa dengar aku, kan?"

Pikiran Anna yang semula sedang mengutuk para teroris itu, secara spontan langsung berubah mengingat rekannya, Nagita. Sejak terjadi ledakan ia sama sekali tidak mendengarkan sahutan suara dari gadis itu. Yang ia dengar hanya Danu, Pak Jaka, dan Pak Zain. Tidak lebih. Setelah Nagita membantunya soal tas di belakang gereja, mendengar kabar bahwa ada dua orang mencurigakan sedang membawa bom entah ke mana, sudah dapat Anna pastikan bahwa rekan perempuannya tadi pasti juga sibuk mencari. Di situ, bola mata Anna berputar ke sekitaran, tak mendengarkan Firli yang terus mengajaknya bicara.

Sungguh demi apapun Addri ingin sekali maju untuk menanyai saat melihat Aina yang celingak-celinguk entah mencari apa, namun belum sempat melakukan itu, suara sirine polisi menggema meski masih sangat jauh. Itu mengundang kepanikan antara para reserse tersebut. Dengan membantu Firli berdiri, Addri pun segera main mata dengan Gema untuk mengajaknya segera pergi dari lokasi. Sementara itu, lain halnya dengan gadis yang masih setia duduk tanpa tenaga di trotoar. Anna masih tidak ikhlas pergi dari sana sebelum memastikan keadaan Nagita. Gema mencoba menariknya untuk pergi namun gadis itu bertahan dalam posisinya yang tak mau berpindah sedikitpun untuk ikut.

"Gem, ayo, Gem," ajak Addri yang sudah menautkan tangannya pada tangan Firli yang terasa sangat dingin. Jika biasanya mereka melihat mayat seseorang yang dibunuh, atau bunuh diri, atau intinya orang mati lah, sudah terbiasa. Lain halnya sekarang, orang yang mungkin berada di dalam rumah itu hanya bisa dibayangkan saja bagaimana keadaannya, namun berhasil membuat dada mereka bergejolak hebat. Terlepas rumah tersebut ada orangnya atau tidak, tetap saja sebuah rumah tentu memiliki banyak kenangan di dalamnya, pada setiap sudutnya, di tiap ruang dan benda yang ada di dalam sana. Dan untuk kehilangan itu semua, tentu menyakitkan.

"Kalau dikata hari ini aku nggak bisa melindungi kamu, Fir, aku nggak akan memaafkan diriku sendiri." Kata itu terucap begitu saja tanpa Addri memiliki niat mengatakannya. Ia menangkap kekhawatiran di mata Firli dengan baik hingga tak tahan untuk menyimpan keresahannya lebih lama lagi.

"Dengan siapa kita berhadapan ini, Ad?" lirih Firli, menanggalkan kesangaran yang selama ini terbiasa dilihat banyak orang.

Anna yang juga mendengar itu menengadah, melihat Firli yang menangis. Batinnya makin remuk. Bahkan gadis sekuat Firli bisa sampai sebegitunya terpengaruh dengan pengeboman itu. Mata Anna kemudian menyapu Gema. Pemuda itu masih menatap memohon padanya agar ia mau bangun dan ikut dengannya untuk segera pergi dari tempat mereka sekarang. Anna dilema, tak punya pilihan untuk menolak. Ia menyerah dan mengikuti instruksi Gema untuk bangun. Melihatnya tertatih, Gema yang tidak tega memaksanya jalan cepat-cepat, meminta izin untuk menggendongnya saja. Anna tak mengatakan apapun baik sebagai persetujuan ataupun penolakan, namun Gema yang tak punya pilihan akhirnya melakukan apa yang menurutnya perlu dilakukan.

Empat orang itu pun segera bergegas. Bahkan yang Addri bingung adalah saat ia menemukan bahwa di jalan yang dilewati mobilnya, tak ada penjagaan. Entah ia harus melega, atau tertahan dengan kebingungannya yang merasa bahwa seolah-olah, jalannya untuk keluar dari TKP tanpa terlibat masalah dimudahkan. Benar-benar tak tampak siapapun, padahal ia masih ingat jelas bahwa Gema bilang kalau setiap jalan yang menuju ke arah gereja mungkin dijaga agar tak ada yang menuju ke sana, dan itu ia benarkan karena tadi dari kejauhan juga terlihat ada mobil di sekitar sini yang sekarang justru hilang entah ke mana. "Kenapa nggak ada orang, Gem? Terus siapa yang menghentikan orang-orang untuk pergi ke arah gereja sampai jalan sekitar sini sepi?"

Ya, akhirnya Addri pun melempari pertanyaan. Membuat Anna yang tahu betul kalau atasannya yang meminta seluruh tim yang kemari agar segera pergi sebelum polisi datang, makin diam meski sejak tadi ia sudah terus-menerus diam.

"Bersyukurlah kalau nggak ada! Artinya kita nggak perlu susah-susah menghadapi siapapun dan menjelaskan kalau kita cuma berada di tempat yang salah," sahut Firli geram.

404 NOT FOUND [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang