12 :: PERASAAN

331 35 21
                                    

"Dulu cita-cita terbesarmu apa, Gema?" Aina bertanya seraya memandang anak pemulung di bawah sana, dekat pintu keluar sebuah kantor asuransi. Ia melihat pandangan yang berbinar dari anak itu ketika mendapati apa yang diambilnya saat ini meski dari kejauhan: beberapa botol plastik. Aina pernah dengar, benda yang satu itu punya nilai jual lebih tinggi dibandingkan barang buangan yang lain. "Kamu lihat anak itu? Dia pasti punya cita-cita, kan?"

Di sebelah Aina, dengan tangan yang menumpu pada pembatas jembatan penyeberangan, Gema menyapu pandangan pada arah yang ditunjuk. "Ya, tentu dia punya, An. Tapi apa kamu tahu, cita-cita orang seperti mereka nggak setinggi apa yang kita duga."

"Dari mana kamu tahu?"

"Aku kenal anak itu." Jawaban Gema membuat Aina menoleh. Pemuda itu tersenyum. "Nggak percaya?" tanya Gema, kemudian segera membungkuk ke luar pembatas dan meletakkan satu telapak tangannya di dekat bibir. "BAGAS?!"

Benar, anak laki-laki dengan pakaian kumalnya tersebut mencari sumber suara, menengadah. "Pak Polisi?" balasnya lalu tersenyum. Anak itu berlari dengan cepat-cepat, menaiki anak tangga dengan penuh antusias. Dengan tenaganya yang segesit itu, tak butuh waktu lama untuk sampai ke tempat laki-laki yang memanggilnya "Pak Polisi lama nggak ke sini, kenapa?"

Gema turun dan berjongkok, mengusap rambut anak kecil itu. "Aku sibuk, tapi sebulan ini udah dua kali aku ke sini setelah dua hari yang lalu," jawab Gema. "Tapi, aku nggak lihat kamu di sekitar sini waktu itu. Kamu ke mana?"

Ya, Gema sangat hafal pada jam berapa Bagas berada di kawasan ini saking seringnya ia kemari. Pertemuan pertamanya dengan anak itu sangat berkesan, yaitu saat Gema sedang sangat lelah dengan semua kesibukannya lalu mampir kemari, dan saat ia mengusap peluh di pelipisnya, Bagas yang lewat menawarkan air minumnya yang padahal tinggal sedikit.

Gema suka memandang lalu-lalang jalan raya yang membantu meramaikan pikirannya. Walaupun kalau boleh memilih, ia akan lebih suka berada di desa yang hijau dan tenang, mendengarkan suara gemuruh air terjun dan kicauan burung beserta sapaan hangat para petani yang pergi ke sawah dengan cangkul di pundak mereka. Namun, Jakarta yang ramai selalu berhasil mengembalikannya pada perasaannya sendiri. Perasaan rindu yang sesak sekaligus indah tentang sang ibu. Ibunya sangat suka Jakarta. Saat Gema kecil ia tidak didongengi cerita rakyat, melainkan segala hal tentang Jakarta. Di balik kota yang dipenuhi ambisi itu, ada banyak sekali kesederhanaan yang bisa ditemui, mulai dari lorong-lorong sempit dengan rumah penduduk yang berhimpit; para pedagang asongan yang memanfaatkan lampu merah yang super panjang untuk menjajakan air bagi para pengendara yang ingin melepas dahaga; juga keputusasaan orang-orang jauh yang datang ke kota ini dengan ekspektasi tinggi untuk memperbaiki taraf kehidupan mereka.

"Aku harus cari plastik ke banyak tempat biar dapat uang lebih waktu itu. Ibuku sakit," jawab Bagas.

Wajah Gema berubah cemas. "Sakit apa?"

"Enggak tahu. Tiap aku tanya, selalu bilang masuk angin, katanya nanti juga sembuh."

Gema menghela pelan. Ia berdiri dan menepi lagi ke pembatas, merangkul Bagas untuk ia kenalkan dengan Aina. Terlihat Bagas yang menatap tak berkedip untuk beberapa detik, tentu ia sedikit bingung karena tidak mengira kalau Pak Polisi yang dia kenal kali ini membawa seseorang. "Kenalkan, ini Aina."

"Pacar Bapak, ya?" sahut Bagas cepat.

Di depannya, Aina membelalakkan mata, kemudian duduk menyejajarkan wajah dengan anak kecil itu agar dapat berbicara dengan nyaman. "Kamu masih kecil, tahu istilah pacar dari mana memangnya?"

"Dari teman-teman. Mereka malah udah pada pacaran," jawab Bagas polos, membuat Aina tertawa walaupun di hati rasanya miris. Generasi negeri ini sekarang benar-benar memprihatinkan. Alih-alih diajarkan rasa nasionalisme sejak dini, lingkungan malah membuat mereka akrab dengan hal-hal yang harusnya belum mereka ketahui. Tayangan dan tontonan, juga kelakuan yang diperlihatkan orang-orang sekarang secara tak langsung menormalisasi anak-anak seusia Bagas untuk mengerti seputar aspek 'cinta-cintaan' saja. Seolah aspek kemanusiaan dan sosial yang lainnya tidak pernah berguna.

404 NOT FOUND [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang