>Happy reading<
Zia membuang tas ke sembarang arah, lalu merebahkan diri di kasur miliknya. Ternyata sekolah offline sungguh melelahkan dari pada homeschooling. Ia menghela nafas panjang, kemudian hendak mengganti pakaian namun di urungkan ketika ponselnya bergetar. Sudah di pastikan itu adalah Anantha, karena hanya dia dan keluarganya yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri yang mempunyai nomornya tersebut.
"Halo kenapa, An?"
"Gue Alvaro."
Zia membulatkan mata, lalu menatap layar ponselnya. Ternyata benar, bukan nama Anantha yang tertera di sana, melainkan nomor yang tidak di kenal.
"Kok lo bisa dapet no hp gue?!"
"Dulu lo kan pernah minjemin gue hp buat nelfon temen gue."
Lantas Zia menepuk jidat dengan tangannya. Bisa-bisanya ia melupakan kejadian di toilet, dimana dirinya merobek seragam Alvaro. "Kenapa lo nelfon gue?"
"Sini apart!"
"Gue baru aja pulang dari sekolah, Al."
"Terus?"
"Ya udah iya! Gue otw!"
"Nah gitu do—"
Telfon di matikan secara sepihak dan di pastikan yang mematikannya adalah Zia. Ia mengacak rambut frustasi seraya mengumpat dalam hati. Tidak habis pikir dengan cowo itu, kemarin ia di suruh membersihkan apartnya dan sekarang? Demi apapun dirinya juga tidak tau akan di suruh melakukan apa lagi nantinya di sana, namun semoga saja tidak yang aneh-aneh. Dengan wajah kesal, Zia segera memasuki kamar mandi untuk menyegarkan pikiran dan tubuhnya.
♡
Setibanya di apart, banyak bungkusan makanan berserahkan di lantai. Tak hanya itu, kini empat orang lelaki sudah berada di hadapannya dengan senyum tidak berdosa kecuali satu orang di antara mereka yaitu Zidan. Alvaro, Reyhan dan Devan menunjukan deretan gigi putihnya ke arah Zia. "Hai cantik," sapa Devan.
"Bini gue itu woi!" ucap tak terima Alvaro.
"Bini-bini, pacaran aja belum apalagi nikah!"
"Otw," ucap Alvaro dengan senyum seperti menggoda Zia.
"Ngapain lo manggil gue kesini?" tanya ketus Zia.
"Ikut party kuy," seru Reyhan.
"Ga," tolak Zia.
"Kalau gitu lo bersihin sisa-sisa makanan yang di lantai," perintah Alvaro.
"Satu lagi, kamar gue berantakan, tolong bersihin," lanjutnya.
"Hm."
"Yuk guys kita party!!" seru Reyhan.
Devan mulai menghidupkan lampu disko, kemudian memutar musik dj dengan sangat kencang. Mereka bertiga berloncat-loncat di lantai sembari bernyanyi tidak jelas. Berbeda dengan Zidan, ia hanya duduk di sofa sembari meneguk minuman alkohol di tangannya. Zia yang awalnya memungut sampah makanan di lantai, lalu menutup rapat telinga dengan kedua tangannya. Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar Alvaro dengan nafas terengah. Mencari sesuatu pada tasnya, Zia mengambil airpods lalu memasangkannya pada telinga. Dari arah pintu, Alvaro menghampirinya dengan wajah heran.
"Kenapa?" tanya lelaki tersebut.
Zia melepas airpods, kemudian menatap Alvaro yang sudah berada di hadapannya. "Kenapa apanya?"
"Kenapa lo lari ke kamar gue?"
"G-gue mau bersihin kamar lo."
"Zi,"
"Apa?"
"Boleh gue nanya?"
"Ya."
"Kenapa gue selalu ngeliat lo make airpods?"
"Gue cuma pengen dengerin lagu, salah ya?"
"Bukan itu maksud gue, kenapa di setiap keramaian lo selalu menyendiri dengan airpods di telinga lo?"
Zia menundukan kepala membuat Alvaro terheran. "Cerita aja sama gue, Zi."
Gadis itu menghela nafas panjang. "Gue panic attack, setiap ada di keramaian gue cemas, gue takut, gue trauma. Dan satu-satunya cara ya, yang seperti lo bilang tadi, gue selalu masang airpods di telinga." Zia tersenyum tipis. "Sedari kecil gue udah terbiasa hidup sendiri. Kadang dulu gue suka iri sama orang-orang seusia gue yang ngerasain sekolah bareng temen-temennya. Sedangkan gue? Orang tua gue selalu ngadain homeschooling karena waktu kecil gue sering sakit-sakitan. Sekarang ketika gue udah bisa ngerasain sekolah seperti yang lainnya, malah gue ga bisa bergaul dan kadang suka menyendiri."
"Hidup menyendiri itu seperti dunia gue. Setiap di keramaian, gue selalu masang airpods di telinga dan orang-orang selalu nyangkanya gue aneh lah autis lah or—" Alvaro meletakkan jari telunjuknya di bibir Zia. "Gue ga suka lo ngomong kayak gitu," tegur lelaki tersebut.
Zia menurunkan jari Alvaro pada bibirnya. "Tapi itu kenyataanya, Al. Hidup gue ya gini-gini aja, flat. Tujuan hidup aja gue ga punya apa lagi masa depan."
"Sekarang gue tanya, cita-cita lo apa?"
Zia menyeritkan dahi. "Kok nyambung ke cita-cita sih?"
"Jawab aja."
"Dokter."
"Terus lo ga ada niat ngejer cita-cita lo?"
"Ga bakal mungkin gu—"
"Ga ada kata ga mungkin sebelum lo mencoba!"
"Tap—"
"Gue mau lo janji sama gue untuk ngejar cita-cita lo sampai terwujud!" celetuk Alvaro—memotong ucapan Zia.
"Gue ga bisa, Al."
"Kenapa? Apa yang ngebuat lo berpikir gitu?"
"Jadi dokter itu ga mudah. Sedangkan gue, di bilang pinter juga ga pinter banget, ter—"
"Karena itu mulai dari sekarang lo harus berusaha. Usaha ga bakal menghianati hasil, Zi."
Alvaro menggengam tangan Zia, lalu menatapnya dengan lekat. "Gue mau lo janji bakal wujudin cita-cita lo sama gue." Lelaki itu mengeluarkan jari kelingkingnya. "Promise?"
Senyum tipis terbit di wajah Zia. Ia menautkan jari kelingkingnya di jari Alvaro. "Promise."
"Oh iya satu lagi, lo bilang hidup lo flat? Liat aja, gue bakal ngerubah sudut pandang lo!"
Zia tersenyum remeh. "Emang bisa?"
Kini Alvaro memajukan tubuh—mendekati Zia. "Lo ngeremehin gue?"
"Woi kalian ngapain berdua di kamar!" pekik Reyhan menatap kedua sejoli di hadapannya.
"Wah, pasti mau buat debay nih," nimbrung Devan.
Zidan menarik ujung baju Devan dan Reyhan agar meninggalkan kamar. "Ga usah ngerusak suasana kalian!" tegur lelaki dingin tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzia [END]
Teen FictionAlvaro Ravendra, lelaki badboy yang memiliki paras tampan dan harta melimpah. Ia di pertemukan oleh seorang gadis unik yang cenderung menyendiri dan cuek terhadap sekitarnya. Zia Agatha Zemora, ialah gadis tersebut. Mereka sama-sama memiliki masa l...