>Happy reading<
Pagi-pagi, Zia sudah melihat mobil terparkir di perkarangan rumahnya. Kaca mobil yang semulanya tertutup kini terbuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan kaca mata bertengger pada matanya. Pria itu berlajalan menghampiri rumahnya membuat Zia memutar mata malas.
"Hai, Zia," sapa pria tersebut ketika sudah berada di hadapannya.
"Mau apa lagi ayah ke sini?" tanya ketus Zia.
"Masa liat anak Ayah ga boleh?"
Gadis itu tersenyum sinis. "Baru sadar Ayah punya anak? Kemana aja Ayah selama ini ninggalin Zia?!"
"Zia, maaf Ayah udah egois. Ayah akan memperbaiki ini semua. Kita mulai hidup yang baru di negara baru ya, Zi?"
"Negara baru?" beo Zia.
"Ayah akan bawa kamu ke Australia, sayang."
"Zia ga mau. Mending Ayah pergi dari sini!" usir Zia.
"Tap—"
"PERGI AYAH!"
Pria itu menatap sendu kearah anaknya. "Oke, ayah akan pergi. Kalau kamu perlu apa-apa telfon saja, Ayah."
"Sejak kapan Ayah peduli sama Zia?"
"Dan satu lagi. Zia ga butuh belas kasihan Ayah!"
"Bukan begitu maksud Ayah, Zia."
"ZIA BILANG PERGI, AYAH!"
Dengan wajah sendu, Ayah Zia melangkahkan pergi dari rumah. Zia menatap kepergian Ayahnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Sedih, kecewa, hancur semua perasaan itu menjadi satu.
"ARGHH!!" Zia melempar vas yang ada di meja ke sembarang arah sembari menarik rambut frustasi. Tidak lama suara ponsel berbunyi dan menampilkan nama Alvaro tertera di layar.
"Hm, kenapa?"
"Sini apart gue, cepet!"
"Gue ga bisa, Al."
"Alasan. Cepet sini apart gue!"
Titt...Titt...
Telfon di matikan sepihak oleh Alvaro. Zia menghela nafas panjang, berusaha sabar menghadapi sikap cowo itu. Ia segera mengambil tas dan airpods di dalam kamar, lalu memesan ojek online menuju rumah Alvaro.
Setibanya disana, ia melihat Alvaro yang tengah bersedekap dada, duduk di sofa sembari menatap tajam kearahnya. Zia menaikkan sebelah alis. "Kenapa lo natap gue gitu?"
"Sini lo!" perintah Alvaro.
Zia menghampiri lelaki tersebut dengan malas, kemudian ikut mendudukan diri bersebelahan dengannya. "Kenapa?"
"Kenapa lo lama banget?" tanya ketusnya.
"Ojek gue datengnya lama."
"Alasan!"
"Lo maunya apa sih, Al? Gue selalu nurutin semua perintah lo! Dengan seenaknya lo memperlakukan gue sebagai babu. Lo pikir gue ga cape sama semua ini?!"
Mata Alvaro membulat. "G-gue ga bermaksud gitu, Zi." Alvaro memang tidak bermaksud untuk menjadikan Zia sebagai babunya. Sungguh, ia hanya ingin lebih dekat dengan gadis tersebut. Mungkin caranya salah dan dirinya sangat menyesal akan hal itu. Alvaro hanya memperdulikan kemauan diri sendiri, hingga tidak sadar Zia juga terlukan akannya.
"Udah lah, Al. Gue cape," lirih Zia.
Lelaki berkaos hitam tersebut mengambil tangan Zia, lalu mengarahkan pada pipinya. "Lo boleh tampar gue semau lo, tapi gue mohon satu hal dari lo. Jangan pernah ngebenci gue," ucap Alvaro dengan tatapan sendunya. "Maaf gue udah egois. Gue janji ga bakal egois lagi, Zi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzia [END]
Teen FictionAlvaro Ravendra, lelaki badboy yang memiliki paras tampan dan harta melimpah. Ia di pertemukan oleh seorang gadis unik yang cenderung menyendiri dan cuek terhadap sekitarnya. Zia Agatha Zemora, ialah gadis tersebut. Mereka sama-sama memiliki masa l...