46 - MULAI MENERIMA

1.9K 155 4
                                    

>Happy reading<

Usai insiden tadi dimana Zia hendak mengakhiri hidup. Kini gadis tersebut sudah di bawa ke rumah Anantha dengan Alvaro yang menuntun gadis tersebut. Disinilah mereka—ruang tamu sofa Anantha.

"Zi, lo kenapa sampai kepikiran bunuh diri sih? Gue panik tadi tau, sampai-sampai nyawa gue juga ikut melayang karena belum bayar makanan di warung Mbah Yudi," ujar Devan.

"Warung Mbah Yudi?" beo Reyhan.

"Warung di deket komplek gue."

"Gue mau ngomong sebentar sama Zia," ucap tiba-tiba Alvaro, lalu beralih menarik tangan Zia agar berdiri dari duduknya. "Gue pinjem kamar lo, An."

Anantha menganggukan kepala. "Tapi jangan ngelakuin aneh-aneh ya, Al. Nanti kamar gue jadi haram."

Tidak memperdulikan ucapan Anantha, Alvaro menarik Zia menuju kamar bernuansa kuning biru seperti warna karakter Upin-Ipin kesukaan Anantha. Setibanya mereka di sana, Alvaro mendudukan Zia di tepi ranjang, lalu ia juga ikut mendudukan diri bersebelahan dengan gadis itu.

"Cerita sama aku semua," perintah Alvaro.

Zia menghela nafas panjang. Ia beralih menatap kekasihnya yang sudah berada di hadapannya. Ia mulai menceritakan seluruh kejadian saat Ayahnya datang sampai calon istri yang ternyata Bunda dari Alexa. Sementara Alvaro, ia menyimak dengan seksama seluruh ucapan Zia.

Ketika gadis tersebut sudah menyelesaikan ucapannya. Alvaro menyelipkan rambut ke belakang telinga gadis itu. Setelahnya, ia menarik kepala Zia ke dalam dekapannya.

Belum sempat Alvaro berbicara, seseorang sudah mengetuk pintu kamar membuat kedua sejoli tersebut saling melepas pelukan. Alvaro berdiri dari duduknya, kemudian beralih menghampiri pintu dan membukanya perlahan-lahan.

"Al, bokap Zia ada di luar," ucap Anantha.

Zia yang mendengar ucapan Anantha dari dalam kamar, langsung melebarkan mata. Tangannya mengepal kuat. Saat ini ia sangat benci kepada Ayahnya itu.

Sementara Alvaro, ia menganggukan ucapan Anantha. Ia menoleh ke belakang menatap Zia yang sudah merubah raut wajahnya. Lantas ia menghampiri gadis tersebut, lalu berjongkok dengan tangan yang mengenggam gadis di hadapannya.

"Mau keluar, hm? Ayah kamu udah nungguin."

Zia menggeleng kuat. "Aku ga mau ketemu dia, Al."

Senyum tipis mengembang di wajah Alvaro. Tangannya beralih menangkup kedua pipi Zia seraya menatapnya lekat.

"Selesaiin secara baik-baik. Kita denger dulu penjelasan dari Ayah kamu, ya?"

Menyadari keraguan dari wajah Zia, Alvaro menggenggam erat tangan putih milik kekasihnya itu. "Trust me. Semua bakal baik-baik aja."

Zia menghela napas panjang. Ia beralih menatap Alvaro dengan senyum tipisnya. Kepala gadis tersebut mengangguk yang menandakan setuju dengan ucapan Alvaro.

Lantas lelaki tersebut mengenggam tangan Zia—menariknya menuju ruang tamu rumah Anantha. Setibanya mereka di sana, bukan hanya Ayah Zia yang berada di ruang tamu. Namun Alexa dan Bundanya juga sudah berada di sana seraya menatap Zia dengan sorot kekhawatiran.

Alvaro mengelus pelan rambut Zia, kemudian membawanya untuk ikut menduduki sofa yang berada di sana.

"Kamu ga papa, Zia?" tanya Bundanya Alexa khawatir. Berbeda dengan Zia, ia hanya memutar mata malas mendengar pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya yang seakan-akan seperti sok peduli.

"Pas Ayah denger kabar kamu bunuh diri dari Papi Bejo, kita bertiga khawatir sama kamu." Ayah Zia menatap ke arah putrinya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Alzia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang