39 - BERTEMU MEREKA

1.8K 172 3
                                    

>Happy reading<

Gadis berseragam putih abu-abu dengan rambut tergerai tersebut, kini tengah berjalan di pinggir jalanan. Matanya menengok ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Lantas ia melangkahkan kaki menyebrang jalanan, namun dari arah kanan mobil berwarna merah melaju kencang ke arahnya. Spontan gadis tersebut menutup mata dengan wajah ketakutan. Wait, kenapa gue ga ngerasain apa-apa? Ia membuka kedua mata—melihat wanita paruh baya yang kini sudah berada di hadapannya.

"Kamu ga papa, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut sembari mengecek seluruh tubuh gadis berseragam putih abu-abu itu.

"Ga papa, Tan."

Menyadari ada rasa ngejanggal, Zia terdiam sejenak. Wajah wanita paruh baya tersebut sangat familiar di matanya, namun ia tidak dapat mengingatnya.

"Kamu pacarnya Alvaro, ya?"

Mata Zia membulat. Bagaimana bisa wanita tersebut mengetahui tentang hubungannya dengan Alvaro?

Dengan ragu Zia menjawab, "I-iya, kok tau ya, Tan?"

"Tante ini mamanya Alvaro. Masa kamu ga inget? Dulu tante nyapa kamu lho di restoran."

Zia menepuk jidat dengan tangannya. Pantas saja wajah wanita paruh baya di hadapannya ini sangat familiar di matanya.

"Iya, Tan. Saya baru inget," ucapnya dengan menunjukan cengiran.

"Kita belum sempet kenalan lho," ujar wanita paruh baya itu.

Zia mengulurkan tangan kanan ke arah wanita tersebut seraya memperlihatkan senyum manisnya. "Saya Zia, Tan."

Wanita itu membalas uluran tangan Zia dengan senyum ramah. "Nama Tante Mika, panggil Mama aja biar kayak calon mertua," ucapnya dengan nada menggoda.

"Eh iya, Zi. Nanti Mama mau adain acara birthday Papanya, Al. Mama boleh minta tolong sesuatu ga, sama kamu?"

Zia menganggukan kepala. "Boleh, M-ma. Mau minta tolong apa?" Ia belum terbiasa memanggil Tante Mika dengan sebutan "Mama", jadi ketika mengatakan hal itu, Zia menjadi sangat gugup.

"Kamu dateng ya ke acara birthday Papanya, Al? Oiya, Mama juga minta tolong banget sama kamu. Tolong bujuk Alvaro buat ikut dateng ke acara birthday Papanya. Cuma kamu yang bisa buat Alvaro nurut. Dan satu lagi, Mama sekalian mau kenalin kamu ke Papanya, Al."

"Zia ga tau bakal bisa atau ga, tapi Zia bakal berusaha buat ngebujuk, Al," ucapnya dengan senyuman tipis.

"Boleh Mama minta nomer telfon kamu? Biar nanti Mama bisa hubungin kamu tentang acaranya."

"Boleh-boleh, Ma." Zia mengambil benda pipih di dalam saku seragamnya, lalu memberikan kepada Mama Mika.

"Thankyou so much, Zia. Mama beruntung punya calon mantu kayak kamu."

Zia menunduk kepala karena tersipu malu. Sedetik setelah itu, ponselnya bergetar yang menampilkan nama Alvaro tertera di layar. Dengan senyum canggung, Zia meminta izin untuk mengangkat telfon kepada Mama Mika. Wanita paruh baya itu hanya membalas dengan anggukan. Lantas ia beralih pergi menjauh, kemudian mendekatkan ponsel ke arah telinganya.

"Kenapa, Al?"

"Kamu dimana?"

"Aku lagi di luar sekolah, Al. Pak Joko nyuruh aku buat print tugas untuk satu kelas," jelas Zia.

"Mau aku jemput?"

"Ga usah, ini aku udah deket sekolah."

"Yaudah, hati-hati, Zizi!"

"Iya, Al."

"Mau makan apa nanti, hm? Aku langsung pesen sekarang aja biar kamu nanti ga usah nunggu pesen lagi."

"Udah istirahat?"

"Udah, Zi."

"Aku pesen seperti biasanya aja, Al."

"Oke."

Usai itu, Zia kembali melangkahkan kaki menghampiri Mama Mika dengan senyum tipisnya.

"M-ma, Zia pamit duluan ya, takut nanti keburu jam istirahatnya habis," pamit Zia.

Mama Mika menahan tangan gadis tersebut. "Ayo sini, Mama anter kamu ke sekolah."

"Ga usah, Ma."

"Ga ada penolakan, Mama maksa."

Zia melototkan mata. Tidak Mama atau anaknya, sama-sama punya sifat sebelas dua belas.

"Ayoo sini." Mama Mika menarik tangan Zia menuju mobilnya.

"Lo dari mana aja, Zi?" tanya Reyhan menatap Zia yang sudah mendudukan diri di sebelah Alvaro. Kini posisi mereka berada di kantin.

"Habis ngeprint tugas dari Pak Joko," jawabnya.

"Nih, makan dulu. Aku udah pesenin kamu." Alvaro menyodorkan sepiring nasi goreng kepada Zia.

"Thankyou, Al."

"Bilang thankyou-nya ke gue dong. Tadi gue rela-rela ngantri buat pesenin nasgor langganan lo," kata Anantha dengan mulut mencebik kesal.

"Thankyou, Anna." Bukan Zia yang mengatakan hal itu, melainkan Alvaro yang menjawab sebagai perwakilan kekasihnya.

"Woi, jangan manggil gue 'Anna' di sekolah juga dong!" ucap tak terima Anantha sembari menatap sekitarnya.

"ANNA," teriak Devan berusaha memanas-manasi lelaki itu.

"Woi, monyet!"

"ANNA, KAU DIMANA? ELSA MENCARIMU, ANNA." Reyhan juga ikut-ikut berteriak agar lelaki di hadapannya ini tambah kesal.

"Anjing lo pada!" umpat Anantha.

"ANNA!! MENGAPA KAU MENGATAKAN 'ANJING'?! KAU SUNGGUH BERDOSA, ANNA!" Alexa berteriak dramatis dengan wajah yang sudah melotot.

Mendengar hal itu, banyak mata mengarah ke meja mereka. Sementara Anantha sudah menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia mengumpat seluruh nama teman-temannya dalam hati. Lihat saja, akan ia balas perbuatan para monyet satu ini!

"Al, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," bisik Zia tepat di telinga Alvaro.

"Ngomong apa, sayang?"

"Ga di sini."

Sedetik setelah itu, Zia menarik tangan Alvaro entah kemana. Sementara lelaki berseragam putih abu-abu tersebut hanya diam—mengikuti kemana kekasihnya membawanya. Kini sampailah mereka di koridor kelas X yang sudah tidak banyak siswa berlalu lalang di sana. Zia melepas genggaman tangan Alvaro, kemudian menatapnya lekat.

"Mau ngomong apa, sayang?"

"Hari ini Papa kamu ulang tahun,"

"Zi, kenapa bahas keluarga aku?!" potong Alvaro dengan wajah menahan amarah.

"Dengerin aku dulu, Al,"

"Mama kamu ngundang kita berdua buat dateng ke acara ulang tahun Papa kamu. Please, Al, jangan egois. Aku tau mereka dulu udah jahat sama kamu, tapi setiap orang punya kesalahan kan? Aku harap kamu bisa berpikir lebih luas. Mereka udah sadar akan kesalahannya, dan mereka pengen kamu balik dan maafin mereka. Aku tau ini ga mudah buat kamu, tapi jangan karena ego, kamu bakal kehilangan orang yang paling berharga di hidup kamu nantinya."

Alvaro menatap sendu ke arah Zia. Perlahan demi perlahan, air mata mengalir di pipi lelaki itu. Ia memeluk erat gadis di hadapannya, kemudian menjatuhkan seluruh tangisan di dalam dekapan kekasihnya itu. Zia membalas pelukan Alvaro. Ia mengelus lembut kepala lelaki tersebut dengan tangannya.

"Aku harap kamu bisa berpikir dewasa, Al."

Alvaro mendongak menatap Zia. "Jam berapa mulainya?"

Mendengar hal itu, Zia tersenyum lebar. "Nanti Mama kamu ngabarin aku."

Alzia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang