14

9 5 0
                                    

Setelah pembatalan perjodohan antara keluarga William dan keluarga Anderson sejak hari itu. Louis, ayah Harvey sudah tidak memaksakan kehendaknya untuk menyuruh anak semata wayangnya itu segera menikah.

"Sekarang semua tentang kehidupanmu kau sendiri yang berhak memutuskan itu," kata Louis kepada Harvey.

"Apa maksud ayah?" tanya Harvey bingung.

"Menikah. Ayah tidak akan lagi memaksamu. Uruslah sendiri!" jelas Louis dengan nada masam.

"Benarkah? Kenapa tidak dari awal saja? Sangat merepotkan!" ujar Harvey meniru nada Louis barusan.

"Bocah sialan! Tapi jangan membuatku mati tanpa cucu!" ujar Louis mulai kesal.

"Jika ayah mau. Saya tidak keberatan untuk mempunyai adik," ucap Harvey dengan nada mengejek lalu pergi.

"Kurang ajar! Untung saja kau anak ku satu-satunya!" kata Louis meneriaki Harvey.

**

Tommy Anderson sungguh dibuat matikutu dengan ancaman yang dilontarkan Louis William melalui sekretaris pribadinya. Ia samasekali sudah tidak memiliki keberanian untuk melanjutkan rencananya agar dapat berbesan dengan Ketua perusahaan terbesar di negaranya.

"Maaf Rachel, ayah akan mengatur perjodohanmu dengan rekan bisnis ayah lainnya," kata Tommy dengan berat hati.

"Ayah, aku tidak apa-apa. Aku sama sekali tidak kecewa. Tapi bolehkah aku ingin mencari pria ku sendiri?" jawab Rachel meyakinkan Tommy.

"Baiklah. Lakukan sesukamu. Ayah akan selalu mendukungmu," ujar Tommy sambil mencium kening putrinya, Rachel.

Dari kejauhan Sarah melihat dan menyimak perbincangan di antara suami dan anaknya itu.

"Haha bagus putri tersayangku.
Kau memang pantas ibu banggakan," gumam Sarah dari kejauhan.

Sarah Anderson, ibundanya. Sebelumnya sudah mengajarkan apa yang harus dilakukan Rachel untuk menjalankan rencana mereka berdua.

"Ingat! Jika kamu membuat satu kesalahan saja. Semuanya akan menjadi sia-sia," kata Sarah memperingati.

"Baik ibu. Aku mengerti," jawab Rachel kegirangan.

**

Setelah semua program perjodohan yang sudah di atur oleh Louis William selaku ayahnya telah berakhir. Harvey pun kembali ke kehidupannya yang bersenang-senang dengan bebas. Menikmati kekuasaan dan kekayaan yang ia miliki.

Seperti biasa.

Harvey selalu memaksa Hansen untuk ikut bersamanya setiap kali ia minum-minum. Entah seperti sudah terbiasa menyuruhnya menemani saat ia sedang hanya ingin bersantai maupun sekarang saat sedang mengadakan pesta disalah satu lounge hotel berbintang di kota itu.

"Kenapa sekarang kau jadi suka sekali menyeretku ke dalam kehidupanmu yang suram ini?" ucap Hansen mengeluh.

"Sialan! Ini disebut aku telah bersikap baik padamu!" jawab Harvey menggerutu.

Malam mulai larut.

Tak diduga Harvey sudah meminum terlalu banyak alkohol. Ia pun menjadi hilang kendali dan sangat susah diatur oleh Hansen. Sedangkan Hansen sendiri sudah sangat lelah dan juga ia sendiri juga merasakan mabuk berat.

"Hei, aku sudah tidak ada tenaga untuk menyeretmu. Aku sudah tidak sanggup lagi!" ujar Hansen terengah-engah.

"Kamar - pesankan," jawab Harvey dengan suara sumbar.

"Haaah.. Baiklah. Setelah aku mengantarmu ke kamar aku akan langsung meninggalkanmu. Jadi, urus dirimu sendiri dengan benar!" ucap Hansen.

"Ya, Ya, aku - juga - bersamamu - tidak mau - tidur," jawab Harvey yang mulai tidak jelas.

HATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang