25

8 3 0
                                    

Theala
Panas sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela rumah pohon. Teriknya berhasil membangunkan Theala dari tidur pulasnya. Ia pun membuka matanya perlahan dan beberapa kali memerjapkan matanya, sepertinya semalam ia terlalu banyak menangis, kini matanya terasa tebal dan membengkak saking sembabnya. Perlu beberapa menit untuk membuat kesadarannya kembali sepenuhnya.

Dahan-dahan, ranting pepohonan, dan rumah pohonnya pun masih terlihat basah, pemandangan yang terlihat ketika Theala membuka jendela rumah pohonnya, menandakan semalaman hujan deras tanpa hentinya hingga pagi dini hari.

Aku berusaha menghirup udara pagi itu sangat dalam dengan kekuatan penuh, karena lubang hidungnya masih terasa tersumbat berkat ulahnya semalam.

Sudah lama aku tidak datang kesini, dulu saat masih kecil setiap weekend ayah dan ibu selalu mengajak ku berlibur ke villa, dan ayah membuatkan rumah pohon ini untuk kami berkemah.

Apakah ayah masih ingat dengan keberadaan rumah pohon yang telah dibuatnya ini?

Aku sangat penasaran, apakah tempat khusus untuk ku di hati ayah masih ada?

Theala sedikit mendongakkan kepalanya ke luar jendela dan tangan kanannya menghalau sinar matahari karena menyilaukan matanya, mencoba menebak sudah pukul berapa saat ini menerawangnya melalui terik sinar matahari.

Tersadar sepertinya hampir mendekati jam makan siang, ia kembali masuk ke dalam rumah pohon meninggalkan sisi jendela itu, mencari keberadaan ponselnya.

"Yah, ponselku habis batrey," gumam Theala yang telah beberapa kali mencoba untuk menghidupkan ponsel miliknya.

Dia segera merapikan penampilannya dan menuruni tangga kayu yang memang satu bangunan dengan rumah pohon, dengan perlahan dan sangat hati-hati karena tangga masih basah.

Sangat disayangkan kaki kiri Theala terpeleset dari anakan tangga tengah dan tergelincir jatuh ke bawah, tanah hutan yang licin juga terdapat beberapa batu kerikil berhasil membuat kaki Theala lecet-lecet, tidak hanya itu, sudah dipastikan kaki kiri Theala mendapat cidera.

Bukan Theala, kalau karena luka-luka yang didapatnya itu membuatnya manja dan lemah, ia tetap melanjutkan langkah kakinya untuk keluar dari hutan dan kembali ke mansion kediaman William, karena bagaimana pun ia sekarang tetap seorang William, bagian dari keluarga dibalik nama tersebut.

Sebelumnya ia sempat membersihkan kotoran tanah-tanah dari kakinya, bukan karena Theala mampir dulu singgah ke villa milik ayahnya, melainkan karena Theala tidak sengaja menemukan kubangan air hujan yang cukup untuk membasuh kedua kakinya, tentunya air itu air kotor apalagi jernih namun memang tidak terlalu keruh.

Saat Theala mendatangi rumah pohon miliknya, ia juga tidak singgah ke villa ayahnya, karena menurut Theala villa itu sudah bukan wilayahnya lagi, ia merasa sudah tidak bisa leluasa mempunyai akses untuk keluar masuk, atau datang dan pergi ke villa keluarga Anderson yang awalnya villa itu dibangun juga untuk mendiang ibunya dan dirinya sendiri.

Villa itu sebenarnya adalah hadiah ulang tahun pernikahan ayah dan ibunya dari ayahnya untuk mendiang ibu Theala. Berbeda dengan rumah pohon ini, karena memang setelah menikah lagi, ayah tidak pernah mengajak ku atau membawa Rachel untuk singgah ke rumah pohon. Mungkin karena rumah pohon ini terlalu banyak kenangan dengan mendiang ibunya, atau karena ayahnya sudah lupa tentang keberadaan rumah pohon ini.

Sesampainya Theala di mansion kediaman William, ia memasuki rumah dengan berjalan sedikit pincang berkat tragedi tergelincir dari anak tangga rumah pohon, ia berjalan melewati ruang tengah rumah tersebut untuk menuju kamar.

"Theala, apa yang terjadi denganmu?! Semalaman dari mana saja kau?!" tanya Louis tiba-tiba mengagetkan Theala yang sebenarnya daritadi kesadarannya belum kembali sepenuhnya.

"Ah, maaf Ketua. Saya ketiduran di suatu tempat, sekarang saya akan segera berkemas untuk berangkat ke kantor," jawab heala yang hampir terhuyung jatuh. Kini kepalanya mulai terasa pening, mungkin karena menangis terlalu banyak dapat menyebabkan sakit kepala.

"Tidak! Kau istirahatlah di kamar. Dengan kondisimu yang seperti ini, bekerja adalah tindakan buruk," ujar Louis sembari mengisyarakatkan para pelayan untuk membantu Theala berjalan pergi ke kamar.

"Baik Ketua, terima kasih banyak atas perhatian anda untuk saya," jawab Theala sopan.

"Theala...." panggil Louis saat Theala sudah berjalan beberapa langkah, "Hanya kau yang diakui sebagai seorang bagian dari William, karena hanya kau menantu dan istri sah dari seorang William."

Theala menghentikan langkahnya, setelah mendengar semua kalimat ayah mertuanya yang dirasanya sudah selesai terucap.

Theala berbalik badan lalu membungkuk hormat kepada Louis, "Terima kasih banyak Ketua atas kebesaran hati anda menerima saya di keluarga ini, saya pamit untuk istirahat ke kamar."

"Kalian! Obati dan layani Theala dengan benar!" perintah Louis kepada seluruh pelayan di rumahnya.

Theala yang mendengar hal tersebut tak kuasa menahan rasa harunya, ia pun kembali meneteskan air mata. Namun, berbeda dari sebelumnya karena air mata kali ini adalah air mata kebahagiaan bukan kesedihan.

Aku tidak menyangka keluarga ini begitu baik kepadaku, walau pun aku bukan menantu seutuhnya bagi keluarga ini.

Monolog hati Theala mengingat kebaikan Louis padanya. Semenjak pertama bertemu dengannya, beliau tidak pernah memperlakukannya dengan buruk, berbeda dengan perlakuan yang di dapatnya dari sang suami, Harvey William.

Theala akhirnya dapat mengisi daya ponselnya. Ia masih diobati dengan salah satu pelayan rumah itu, namun pelayan itu bukan Wulan. Saat ponsel miliknya berhasil dinyalakan, rentetan dering notifikasi ponsel terus masuk dan berbunyi, seperti ia telah mendapatkan spam dari seseorang.

"Aduh! Mati aku!" ujar Theala kaget mendapati siapa yang sudah mencoba berulang-kali menghubunginya lewat telepon dan pesan.

"Maaf Nyonya Muda, saya kurang hati-hati, saya akan lebih lembut mengobati luka anda," ujar pelayan wanita tersebut karena kaget Theala berteriak kesakitan, pikirnya.

"Ah, tidak, tidak, maaf, bukan karena kamu kok, i-ini karena ponselku," perjelas Theala yang merasa tidak enak hati telah membuat pelayan rumah itu ketakutan.

"Kalau Nyonya Muda kesakitan, mohon beritahu saya, saya akan lebih lembut mengobatinya," ucap pelayan wanita itu kembali.

"Terima kasih banyak, tapi ini sudah tidak sakit kok, kamu boleh selesai mengobatinya," ujar Theala.

"Baik Nyonya Muda, biarkan saya membalut kaki anda yang terkilir selagi menunggu dokter keluarga tiba untuk memeriksa kondisi anda."

"Terima kasih banyak untuk pertolonganmu ini."

"Sudah suatu kewajiban saya Nyonya Muda, saya permisi," pamit pelayan wanita itu.

Kini Theala sedang berbaring di tempat tidurnya sembari asik bermain dengan ponselnya, juga sedang pusing memikirkan sesuatu.

Bagaimana nanti ketika ia menghadapi Harvey, dia harus bersikap bagaimana. Ia merasa takut akan kemarahannya, tetapi juga merasa sangat bersalah karena ia telah pergi begitu saja tanpa pamit ataupun memberi kabar.

•••HATE•••

HATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang