45

7 2 0
                                    

Kai
Waktu pulang kerja pun tiba, seperti biasanya Hansen dan Kai menghampiri ruang kerja Harvey terlebih dahulu sebelum meninggalkan perusahaan. Meskipun Hansen lebih sering membawa mobil sendiri.

"Tadi Theala ke ruangan ku, dia bertanya tentang alasan dibalik kau menikahinya," ujar Hansen setelah memasuki ruangan Harvey yang disusul Kai dibelakangnya.

"Hmm," jawab Harvey dingin.

"Tapi Tuan, pagi tadi Nyonya juga menanyakan hal yang sama kepada saya," ujar Kai menambahi.

"Cih, bahkan dia juga mencoba bertanya padamu? Lalu lari kepada kak Hansen setelahnya?" jawab Harvey tak acuh.

"Sebenarnya ada alasan apa?" tanya Hansen.

Iya benar, aku juga sangat penasaran akan hal tersebut.

Dialog di dalam batin Kai.

Harvey masih bungkam dan tak acuh sembari terus menyelesaikan pekerjaannya.

"Bukankah harusnya kau menikahi wanita dengan cinta? Ya, setidaknya ada perasaan meski pun hanya sedikit. Kalau itu semua tidak ada, bukan hanya menyiksa pasanganmu tapi juga dirimu sendiri. Kau akan sering merasa muak setiap detik yang kau habiskan dengan orang yang sama sekali tidak kau cintai?" kalimat Hansen panjang lebar, sepertinya dia berusaha mengungkapkan isi pikirannya.

"Benar, Tuan Harvey izinkan saya untuk menyampaikan sesuatu. Kalau anda ingin bersenang-senang, seharusnya anda tidak boleh memacarinya dan anda juga tidak boleh menikahinya hanya karena ingin menghukumnya?" ucap Kai.

Mungkin dia juga merasa sangat penasaran atas perubahan sikap Harvey yang dahulu tiba-tiba memintanya untuk mengurus pernikahan tanpa penjelasan apapun.

"Lagi pula, bukankah kau orang yang tidak dapat bertahan dengan hanya satu wanita untuk waktu yang lama? Kau kan sangat membenci hal-hal yang akan merepotkan mu dan hal yang akan membuatmu muak," timpal Hansen, kalimatnya membidik tepat ke sasaran.

"Aiish! Kenapa kalian semua sangat berisik?! Aku harus memeriksa dokumen terakhir ini agar kita bisa cepat pulang!" jawab Harvey frustasi.

"Jawab saja tidak usah mengalihkan pembicaraan! Tidak pulang pun bukan masalah, sampai kau menjelaskan apa rencanamu yang sebenarnya!" timpal Hansen sudah tidak dapat menahan rasa penasarannya.

Harvey berhenti sejenak dari kegiatannya, tatapan matanya jelas nampak datar dan dingin sama sekali tak dapat di baca dari sorot matanya itu, hanya kosong. Harvey meraih secangkir kopi di hadapannya, ia meneguknya perlahan.

"Bersenang-senang? Menghukum?"

Harvey mengarahkan sorot matanya menatap kearah Hansen dan Kai secara bergantian,

"Kalian pikir aku menikahi Theala karena ingin balas dendam?" sambungnya.

"Memangnya bukan?" jawab Hansen dan Kai kompak.

Ekspresi mereka jelas semakin nampak penasaran.

"Sudah berapa kali aku bilang..." ucap Harvey sembari meletakan cangkir kopinya ke atas meja kerjanya.

"Sejak awal...."

Harvey bangkit dari kursinya.

"Aku memang..."

Harvey berjalan mendekat ke arah pintu keluar.

"Sudah memilih Theala," kata terakhir sebelum Harvey menutup pintu ruang kerja miliknya.

Hansen dan Kai yang terhipnotis menunggu jawaban Harvey, tak bergeming dari tempat mereka masing-masing berdiri.

Mereka pun tersadar dan berangsur lari menyusul Harvey yang sudah mendahului mereka. Kantor sudah sepi karena hanya tinggal mereka bertiga disana.

HATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang