GR - 40. Mati Berencana

1.7K 279 27
                                    

"Nah! Ini yang gue cari-cari bray," ucap Barra antusias ketika melihat gadis montok, bahenol, aduhai.

"Anj*r! Selera lo gitu amat Bar," ucap Aldi tak habis pikir.

"Apaan sih?" Tanya Daffa penasaran.

"Jangan dilihat! Berbahaya untuk kesehatan mata," peringat Kenzo.

Daffa kalah dengan rasa penasarannya dan menoleh kebelakang. "Wah parah! Rejeki nggak dibagi-bagi."

"Ck, lebay lo pada! Gue mah biasa aja," ucap Gata santai.

"Oh iya. Kan selera lo kek Rara dedek-dedek polos," ledek Barra.

"Biarin! Lo pada nggak tau sih, rasanya punya cewek yang masih polos belum dipoles. Enak tau!" Ucap Gata sumringah.

"Pindah yuk!" Ajak Gilang. "Ngeliat cewek doang nggak bakalan kenyang," lanjutnya.

"Yaudah kita nunggu Rangga di cafe," ucap Gata.

Sesampainnya di cafe dan selang beberapa menit Rangga juga sampai.

"Ish! Padahal baru aja ngeliat cewek idaman gue," ucap Barra sambil menerucutkan bibirnya.

"Sudahi memanjakan mata. Mari memanjakan perut," ucap Gilang sambil memakan hidangan yang ada di depannya.

Tidak sengaja Gata melihat Zidan di cafe tersebut.

"Ini Mama lo?" Tanya Gata.

"Iya. Emang napa?" Tanya balik Zidan.

"Anj*y cakep juga!" Ucap Barra.

"Entar kalau dibikin judul kek kini, 'Musuh ku adalah Bapak ku' nggak sudi gue punya bapak kek lo!" Ucap Zidan kesal.

"Gue masih normal kali Dan," ucap Barra.

"Mama lo tau, lo pcsyho?" Tanya Gata.

"Ya taulah. Beneran! Jamet-jamet gini gue tuh jarang bohong," ucap Zidan disuguhi semprotan Daffa.

"Kampret! Kemaren aja lo bohong waktu kita nyuruh lo pulang, lo malah mangkir di atas jembatan. BTW ngapain lo? Manggil malaikat maut?" Tanya Daffa asal.

"Tau aja lo! Gue mau bunuh diri," jawab Zidan tak peduli dengan pengunjung lain yang sudah bergidik. "Enaknya mati jam berapa ya?"

"Jam 3 pagi aja! Entar gue yang ngumumin telah berpulang Zidan Alzerozein umur 17 tahun jam 3 pagi. Dikarenakan sikap semasa hidup yang sombong dan munafik, kuburnya dikentuti petir dan dikemihi hujan. Gimana, mantep nggak?" Tanya Daffa diberi acungan jempol oleh Ganasta.

"Yaelah, nggak ikhlas lo!" Ucap Zidan pergi karena kesal.

"Dah," ucap Ganasta sambil melambaikan.

"Dih," ucap Zidan heran.

Sejak kapan tuh geng baik sama gue?

"Lah, kalian juga di sini?" Ucap Rara kaget yang baru datang dengan teman-temannya.

"Iya. Emang napa? Lagi mood aja ke cafe," jawab Daffa.

"Kalau lo ke sini, rumah siapa yang jagain?" Tanya Rangga.

"Ada Mama sama Papa. Mereka udah pulang," jawab Rara.

"Lo biarin mereka dua-duaan?" Tanya Rangga mencoba mencari sisi dewasa dari adiknya.

"Kalo mereka nggak dua-duaan kita nggak lahir!" Jawab Rara membuat Ganasta tercengang. Lalu bagaimana dengan Gata? Cowok itu sudah tersedak minumannya.

Kok Rara udah paham? Perasaan belom gue apa-apain.

"Pacar polosnya Pak Ketua udah mulai paham ye," celetuk Gilang.

"Jangan-jangan Rara ngeliat cewek montok tadi Ta! Kira-kira tu cewek namanya siapa ya?" Ucap Barra.

"Ya ampun isi pikiran lo masih tu cewek aja. MANDI SONO! GUE TAKUT LO BERNAJIS," semprot Gata.

"IYA GUE NGAKU BERNAJIS, KARENA GUE NGGAK SOK SUCI!" Ucap Barra membela diri.

"Ci, kalian tadi nggak liat Zidan?" Tanya Daffa.

"Nggak," jawab Oci singkat.

"Padahal Zidan tadi juga nongki di sini," ucap Barra.

"Emang ngomongin apa?" Tanya Riska.

"Katanya mau bunuh diri," jawab Daffa.

"Apa? Gimana-gimana? Tu cowok mau bunuh diri?" Ucap Rara tak percaya.

"Tau deh, jadi apa nggak. Tapi keknya dia udah bosen hidup," ucap Gata.

*****

"Kalo dipikir-pikir, merasa baik juga. Apa gue temenan aja kali ya? Mungkin aja sedikit ngurangin depresi gue, ya meskipun ada Gata pacarnya Rara dan Daffa pacarnya Oci. Keknya gue harus belajar mengikhlaskan dan merelakan, gue nggak mau masa lalu yang kelam bikin masa depan gue jadi suram. Gue yakin, kalau gue tenang ... jiwa gue yang nggak stabil ini pasti akan kembali normal."

"Kalau Rara atau Oci nggak bisa gue milikin, setidaknya dengan gue hidup gue masih bisa ngeliat mereka bahagia. Meskipun bahagianya nggak sama gue."

"Tapi mau gimanapun, ditinggalin sama 2 cewek yang dicintai dengan tulus itu rasanya sakit. Sakit ..." lirihnya dengan sangat dalam.

"SAKIT!" Lirih itu berganti menjadi teriakan frustrasi. Bagaimana tidak? Pisau yang ia pegang, kini sudah menggores tangan kirinya hingga darah segar. Seakan sudah bosan dengan hidupnya, Zidan kembali mengambil pisau dan -

PRANG!

Pisau yang berlumuran darah terjatuh setelah menusuk perut pemuda Psikopat tersebut.

Mengsakit

GATARARA  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang